Kamis, 01 Mei 2008

Sutanto Hartono: CEO yang Gemar Menyambangi Bawahan


Sutanto Hartono: CEO yang Gemar Menyambangi Bawahan
Rabu, 21 Januari 2004
Oleh : Ishak Rafick

Orang yang tak mengenal Sutanto Hartono mungkin akan mengira laki-laki berusia 36 tahun ini sangat kaku. Jalannya cepat. Raut mukanya oriental, mungkin lebih mirip orang Jepang atau Korea ketimbang Indonesia.

Gaya bicaranya amat cepat, sehingga terkadang menyulitkan lawan bicaranya. Namun, begitu Anda mengenalnya lebih dekat, Sutanto kebalikan dari kesan sepintas itu. Di mata rekan dan bawahannya, mantan CEO Sony Music Entertainment Indonesia (SMEI) ini sosok yang ramah dan penuh perhatian. Tak heran, ia bisa terpilih sebagai salah satu The Best CEO di Indonesia. Dalam hajatan reguler Majalah SWA, Synovate dan Dunamis tahun 2003, Sutanto berhasil menduduki posisi ketiga. Pria yang kini menjabat Direktur Pengelola PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) itu berada di bawah bos Gramedia Jacob Oetama dan Pramukti (Presdir dan CEO Bank NISP).

Tak ada yang keberatan terhadap penobatan Sutanto sebagai The Best CEO 2003, lantaran pria yang tampil bersahaja ini telah membuktikan kepiawaiannya memimpin SMEI. Sentuhan tangan dinginnya selama 7,5 tahun berhasil mengorbitkan perusahaan yang ikut dibidaninya itu menjadi raja di industri rekaman di Tanah Air, jauh melampaui Warner Music, EMI, dan Polygram. SMEI kini mengantungi pangsa pasar 30%. Pesaing terdekatnya ialah Universal dan Musica Studio, masing-masing menguasai 15% dan 20% industri musik di Indonesia. Toh, penyandang MBA dari Universitas Kalifornia, Berkeley, ini mengaku kaget, ketika diberitahu namanya berada di jajaran CEO terbaik 2003. "Saya kaget, tapi juga gembira karena orang yang pernah saya pimpin dulu telah memilih saya sebagai CEO terbaik. Berarti mereka menghargai semua yang telah saya lakukan di SMEI," ujarnya bersemangat. SMEI mulai beroperasi secara resmi pada 1996.

Tak seperti para pesaingnya yang lebih dulu hadir di Indonesia, waktu mendirikan SMEI, sang induk -- Sony Music --tidak berpatungan dengan perusahaan lokal. Jadi, saham SMEI 100% dimiliki oleh Sony Music International. Hanya, untuk mengelolanya Sony Music yang bermarkas di New York itu punya cara unik: seluruh organisasinya diserahkan kepada orang lokal. Sutanto, yang pernah meniti karier di Procter & Gamble (1989-91) dan sempat menorehkan namanya di Booz and Allen sampai 1996 sebagai Senior Associate Financial Services, ditunjuk untuk men-set up dan mengelola perusahaan baru itu. Begitulah bak pesawat ketemu pilot yang tepat, SMEI tak memerlukan waktu lama untuk melunakkan pasar Indonesia. Ini terbukti beberapa tahun kemudian, perusahaan itu menjelma menjadi perusahaan industri rekaman paling besar, kreatif, dan paling berani di Indonesia. Perusahaan ini juga tak segan mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk mencari dan mengobitkan grup band dan penyanyi Indonesia dengan tingkat penjualan kaset dan compact disc (CD) yang dulu hanya bisa dicapai pemusik barat. Mereka antara lain Warna, Padi, Rif, Gigi, Kla Project, Wong, Andre Hehanusa, dan tentu saja Sheila On 7 (So7) yang album perdananya terjual di atas 1 juta kopi. Album kedua So7 bahkan terjual sampai 1,8 juta kopi.

Tak heran, nama Sony dan Sutanto bisa menancap di hati para artis dan pelaku bisnis entertainment. Sebagai perintis, dikatakan Manajer Pemasaran Strategis SMEI Vinca Roseana, Sutanto memang terlibat dalam semua lini. "Sutanto adalah figur pemimpin yang wise dan open minded," kata Vinca bersungguh-sungguh. "Dia penuh perhatian dan tak segan mendatangi bawahannya untuk menyelesaikan masalah," tambahnya. Ada pengalaman khusus tentang ini? "Ya, saya kan di bagian marketing. Secara struktural kan jauh, tapi dia kerap datang ke ruangan saya untuk menanyakan keluhan dan perkembangan di bagian marketing," jawab Vinca. Begitu pun, ketika bagian pemasaran mengeluarkan terobosan baru, Sutanto selalu memberikan ruang dan kesempatan luas untuk mencoba. Kendati ia selalu minta perhitungan dan analisis yang matang, tetapi kalau terobosan itu masuk akal, menurut Vinca, ia akan mengizinkan. Sementara itu, bila perhitungannga ia anggap masih kurang bagus, Sutanto akan menganjurkan untuk mendalami masalahnya, baru mengajukannya lagi. ?Dengan diberi kesempatan seperti itu, kami merasa tercambuk terus untuk berkreasi dan berinovasi,? tutur Vinca. Lelaki kelahiran Yogyakarta 1967 itu sering terjun membantu tenaga pemasarannya, sekadar mencari invoice yang hilang ke beberapa agennya di Glodok.

Kebiasaannya itu pada gilirannya menimbulkan respek mendalam di hati anak buahnya. Bawahan yang awalnya risi ketika disambangi, lama-lama jadi hormat dan tak malu-malu minta bantuan Sutanto bila mengalami kesulitan di lapangan. Sutanto cuma tersenyum ketika diceritakan kesan anak buahnya terhadapnya. "Saya memang sudah biasa terlibat secara full," Sutanto mengungkapkan. Harus diakui, Sutanto memang berhasil membangun kultur kebersamaan antara karyawan dan atasan. Jarak di antara mereka seolah-olah menjadi nol. Setiap kali para bawahan menemui kesulitan, mereka bisa langsung mananyakan atau minta saran atasannya saat itu juga. Ia menggambarkan perusahaan seperti keluarga, yang setiap anggotanya kompak dan bahu-membahu dalam setiap pekerjaan. Kantor, dalam filosofi Sutanto, merupakan rumah kedua. Karena itu, masalah yang dipikirkan pemimpin tidak lagi hanya sebatas pada bagaimana bisa memberikan bonus, menaikkan gaji atau meningkatkan pangsa pasar dan sejenisnya. Namun yang lebih penting lagi, pemimpin harus benar-benar memperhatikan sisi kemanusiaan seluruh karyawan. Menurut dia, CEO harus benar-benar peka, jangan hanya menuntut karyawan bekerja keras untuk perusahaan, tapi tak peduli masalah keluarga mereka. Sebagai contoh, ketika ada karyawan yang jenuh berada di suatu departemen, pemimpin harus cepat mencarikan solusi, misalnya memindahkan ke bagian lain yang cocok. ?Jangan dibiarkan berlarut-larut, prestasinya pasti menurun," tuturnya. Dengan cara itu, ia yakin, mereka akan merasa diperlakukan sebagai manusia dan perusahaan diuntungkan.

Prestasi dan kepiawaian Sutanto membangun budaya kerja perusahaan tidak saja diakui bawahan dan rekannya di SMEI, tapi juga menjadi perhatian Sony Music International. Ini bisa dilihat ketika Sutanto dipercaya menangani Sony Music Malaysia pada 2001. Memasuki tahun 2002, perusahaan induknya itu bahkan memberinya kepercayaan lebih besar dengan mengangkatnya menjadi Vice President Sony Music untuk South East Asia. Menurut Direktur Pemrograman RCTI Lala Hamid -- dulu pernah bekerja di bawah Sutanto di SMEI, keberhasilan Sutanto yang juga layak diacungi jempol ialah menjadikan dunia hiburan sebagai industri. "Perusahaan entertainment biasanya dimiliki keluarga dan umumnya lebih mengandalkan feeling. Sutanto menjadikannya industri. Karena itu, ia lebih mengandalkan prosedur dan perhitungan dari pada feeling," Lala menjelaskan. Hasilnya, tambah dia, bisa kita lihat sendiri. SMEI dalam beberapa tahun berubah menjadi pemimpin di industri hiburan dan rekaman di Indonesia.

Di RCTI pun, Lala berujar, gaya manajemen yang diterapkannya sama dengan di SMEI. Bahkan, karena industrinya agak beda, Sutanto tak segan mempelajari seluk-beluk pekerjaan bawahannya, misalnya bagian programming. ?Sutanto merupakan pemimpin yang layak ditiru," Lala menekankan. Menurut Sutanto, satu hal yang paling penting di dunia entertainment ialah relationship. Hal ini pada dasarnya juga penting di industri lain, tapi jauh lebih penting bagi bisnis entertainment. Relationship ini terkait erat dengan stakeholder. Ini bisa berarti hubungan dengan staf, juga bisa dimaknai hubungan dengan artis di lingkungan perusahaan. "Ketika artis memutuskan bergabung ke SMEI, mereka tidak semata-mata melihat kredibilitas perusahaan, tapi juga seberapa bagus servis yang diberikan perusahaan kepada mereka atas dasar hubungan saling menguntungkan dan profesionalisme. Royalti, misalnya, harus adil dan pembayarannya jangan molor-molor," jelas Sutanto setengah bercanda.

Sutanto mengaku selama memimpin SMEI selalu berupaya menyeleraskan berbagai kepentingan dan masalah antardepartemen. Maksudnya? Di SMEI, ia menjelaskan, ada berbagai bagian (departemen) yang cara kerja dan cara pandangnya terhadap masalah berlainan, bila tak mau disebut bertabrakan. Bagian talent (pencari bakat), misalnya, dalam pekerjaannya selalu mencari potensi artis baru (penyanyi berbakat). Kemudian, mereka dibuatkan aransemen lagu dan albumnya sekaligus. Mereka terdiri atas orang kreatif. Pertimbangan mereka ialah output berupa karya, bukan untung-rugi. Sebaliknya, orang di bagian keuangan hanya melihat berdasarkan untung-rugi. Kedua bagian ini sering bentrok lantaran keputusan yang mereka buat tidak match. Juga, soal desain. Orang kreatif maunya colourfull, sedangkan bagian keuangan maunya hitam-putih yang lebih murah. Begitu juga misalnya ketika berbicara dengan orang grafis. Mereka tidak mementingkan faktor uang semata, tapi prestise. Misalnya, seberapa banyak lagu yang dihasilkan untuk bisa menang di ajang Anugerah Musik Indonesia? Atau, seberapa jauh lagu yang dihasilkan bisa masuk chart radio favorit. "Nah, tugas pemimpin ialah menjaga keseimbangan itu agar perusahaan bisa jalan dan menguntungkan semua pihak," kata suami Tina Ratna Utari ini.

Menyelaraskan berbagai kepentingan itu, menurut dia, memang tidak gampang, tapi juga bukan mustahil. "Itu sebabnya, diperlukan upaya pembelajaran terus-menerus dan mau belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Itu kuncinya," Sutanto menegaskan lagi. Sutanto mengaku pernah melakukan kesalahan. "Saya pernah menerapkan kebijakan untuk mengeluarkan kaset (album), tanpa harus dibarengi dengan CD-nya sekaligus. CD baru akan dikeluarkan ketika kasetnya sudah mencapai titik penjualan tertentu yang sudah ditetapkan perusahaan. Kebijakan ini terus dijalankan selama beberapa tahun," tuturnya. Secara komersial memang tidak ada masalah, tapi dari sisi artis, itu jadi masalah. Bagi mereka, kaset dan CD merupakan karya seni yang punya nilai historis. Mereka merasa kurang pas jika pemunculan kaset didahulukan.

Mereka mau hal itu dilakukan bersamaan. "Setelah mendapatkan masukan itu, saya ikuti kemauan mereka." Dalam upaya memberdayakan karyawan, Sutanto paling tidak melakukan dua hal. Pertama, memberikan pelatihan langsung kepada anak buah di semua departemen. Kedua, mengajak anak buahnya keluar daerah mengikuti pelatihan dari konsultan yang diundangnya. Meski posisinya di SMEI sudah bagus, Sutanto agaknya masih belum puas. Tak heran, ia kemudian berani meninggalkan almamaternya itu untuk menjajal kemampuannya di RCTI. Menurut dia, profesional di industri pertelevisian, terutama di level direksi, masih amat kurang. Ia merasa tertantang mencobanya. Baginya, dilihat dari sisi industri, SMEI dan RCTI tidaklah jauh berbeda. Bedanya, di SMEI ia cuma membawahkan 50 karyawan, atau bila digabung total karyawan SMEI di Asia Tenggara hanya 200 orang. Adapun di RCTI ia memimpin 650 karyawan. Pola manajemen yang dipakainya untuk membangun SMEI akan ia terapkan di RCTI, mungkin dengan sedikit modifikasi. Sutanto tidak berlebihan. Gayanya yang tak suka formalitas mulai berjalan di RCTI. Pehobi tenis ini tak tabu bercanda dengan anak buahnya.


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=253

 

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut