Kamis, 01 Mei 2008

Kisah Sukses CEO Zuhud

Kisah Sukses CEO Zuhud : Smith; Mockler; Wells Fargo; Abbott
Rabu, 21 Januari 2004
Oleh : swa

Untuk menjadi pemimpin hebat, zuhud adalah prasyarat utama. Inilah kisah sukses CEO yang tak begitu dikenal, tapi ternyata berprestasi lebih hebat ketimbang Jack Welch dan eksekutif selebriti lain.

Suatu siang pada 1971, Darwin E. Smith terpilih menjadi CEO Kimberly-Clark, perusahaan kertas tua, yang selama 20 tahun terakhir nilai sahamnya anjlok 36% dibanding pasar secara umum. Smith yang pengacara di Kimberly-Clark itu tak yakin ia pilihan tepat. Apalagi, seusai pemilihan, seorang direktur menghampiri dan mengingatkan bahwa ia sebenarnya tidak memenuhi beberapa prasyarat untuk jabatan eksekutif puncak tersebut.

Tetapi, sejarah mencatat, Smith bukan hanya mampu bertahan sebagai CEO selama 20 tahun. Lebih dari itu, dalam dua dasawarsa kepemimpinannya, lelaki santun tersebut berhasil mengibarkan Kimberly-Clark jadi perusahaan produk konsumer berbasis kertas yang memberikan return saham kumulatif 4,1 kali lipat rata-rata pasar ? mengalahkan baik pesaing lama (Scott Paper) maupun baru (Procter & Gamble), bahkan lebih tinggi tinggi ketimbang kampiun industri seperti Coca-Cola, Hewlett-Packard, 3M, dan General Electric.

?Kinerja yang mengesankan,? tulis Jim Collins dalam bukunya yang laris, Good to Great. ?Salah satu contoh terbaik dari sukses membawa perusahaan yang bagus menjadi perusahaan yang hebat, pada abad ke-20.?

Kendati demikian, tak banyak orang ? bahkan dari kalangan pemerhati sejarah manajemen dan korporasi ? yang tahu siapa itu Darwin Smith. Musababnya? Mungkin karena Smith sendiri lebih suka tetap tak dikenal. Ia lebih suka bergaul dengan penebang kayu dan menghabiskan liburannya dengan berkeliling naik traktor di tanah pertaniannya Wisconsin ketimbang melobi kalangan pers. Tak heran kalau namanya tak pernah berkibar sebagai selebriti, apalagi pahlawan.

Ketika seorang wartawan bertanya tentang gaya manajemennya, Smith yang berpenampilan sederhana dengan jas usang dari J.C. Penney ? department store kelas menengah bawah ? cuma menatap bingung dari balik kaca matanya yang tebal. Setelah terdiam beberapa lama, baru dari mulutnya keluar jawaban singkat: ?Eksentrik.?

Smith memang sangat pemalu dan rendah hati. Tetapi, bukan berarti ia lembek. Lahir dari keluarga petani miskin, siang hari Smith muda harus bekerja di International Harvester agar bisa kuliah malam di Indiana University. Suatu hari terpotong. Dan, ceritanya, ia tetap masuk kuliah malam harinya, lalu masuk kerja lagi keesokan harinya. Hebatnya lagi, walau kuliah sambil kerja full time, Smith diterima di salah satu program pascasarjana ilmu hukum paling bergengsi di dunia: Harvard Law School.

Belakangan, hanya dua bulan menduduki kursi CEO, Smith didiagnosis menderita kanker hidung dan tenggorokan, dan diramalkan tak akan bertahan hidup sampai setahun. Ia memberi tahu Dewan Direksi tetapi meyakinkan mereka, ?Aku belum mati dan tak berencana mati dalam waktu dekat.?

Smith membuktikan ucapannya. Ia memenuhi seluruh jadwal kerjanya yang ketat, walau setiap akhir pekan harus melakukan perjalanan dari Wisconsin ke Houston, Texas, untuk radioterapi dan hidup sampai 25 tahun kemudian ? sebagian besar sebagai CEO. Yang lebih hebat lagi, ia menunjukkan kegigihan yang sama ketika mengibarkan kembali Kimberly-Clark yang terpuruk, terutama ketika menuntaskan keputusan paling dramatis dalam sejarah perusahaan kertas tersebut: Melego pabrik kertas yang merupakan sumber utama pendapatan mereka.

Tak lama setelah menduduki kursi CEO, Smith dan timnya menyimpulkan bahwa bisnis inti tradisional mereka ? coated paper ? tak bisa diandalkan lagi. Matematika bisnisnya jelek dan daya saingnya lemah. Di sisi lain, mereka melihat, kalau Kimberly-Clark berani terjun ke industri konsumer produk kertas, pesaing kelas dunia seperti P&G akan memaksa mereka untuk besar atau, sebaliknya, hancur.

Maka, seperti laksamana yang membakar habis kapalnya setelah pendaratan ? sehingga tinggal punya dua pilihan: Menang atau mati ? Smith mengumumkan keputusan manajemen buat melepas pabrik kertas mereka di Kimberley, Wisconsin. Selanjutnya mereka akan fokus ke bisnis konsumer dan menginvestasikan seluruh sumber daya buat membangun merek seperti Huggies dan Kleenex.

Scott Paper mengayun strategi yang berbeda buat mengatasi masalah yang sama. Pesaing langsung Kimberley-Clark ini membajak eksekutif bernama Al Dunlap buat menduduki kursi CEO. Dunlap melakukan kebalikan dari apa yang dilakukan Smith. Ia bekoar kepada siapa pun yang mau mendengarkan tentang apa yang bakal ia capai.

Dalam wawancara dengan BusinessWeek sekitar 19 bulan sebagai eksekutif puncak Scott Paper, misalnya, Dunlap menepuk dada, ?Kisah Scott (Paper) bakal tercatat di sejarah bisnis Amerika sebagai salah satu turnaround tersukses dan tercepat yang pernah ada, membuat turnaround lain terlihat kecil.?

Banyak yang mengelu-elukan Dunlap sebagai jenius. Sebaliknya, kalangan media massa bisnis menilai langkah Smith sebagai kebodohan besar dan para analis Wall Street menurunkan grade saham Kimberly-Clark. Tetapi, Smith jalan terus.

Hasilnya? BusinessWeek mencatat, Dunlap pribadi meraup US0 juta untuk masa kerjanya yang 603 hari ? atau rata-rata US5 ribu per hari ? yang terutama berasal dari pemangkasan karyawan, pemotongan anggaran R&D sampai 50%, dan memaksakan pertumbuhan semu untuk menyiapkan penjualan aset. Belakangan, ia bahkan meluncurkan buku yang menyombongkan julukannya sebagai Rambo in Pinstripes.

?I love Rambo,? tulis Dunlap. ?Inilah lelaki dengan peluang nol besar untuk sukses tapi selalu menang. Rambo terjun ke segala situasi tanpa kemungkinan selamat, siap untuk hancur. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya ia berhasil, ia mampu mengalahkan semua orang jahat. Ia menciptakan damai dari puing-puing perang. Itulah yang aku lakukan juga.?

Sementara itu, pelahan namun pasti, Kimberley-Clark mulai lepas landas. Produk mereka, seperti Kleenex, mendominasi pasar sampai-sampai menjadi sebutan umum untuk kategori produknya. Dan, 25 tahun setelah Smith mengayun strategi radikal, Kimberley-Clark bukan saja mampu mengalahkan P&G dalam enam dari delapan kategori produk, melainkan juga mencaplok Scott Paper. Pada masa pensiun, Smith cuma mengenang prestasinya yang luar biasa tersebut dengan kalimat sederhana, ?Aku tidak pernah berhenti berusaha untuk qualified dalam pekerjaan CEO??

Kendati demikian, sebagai manusia biasa, bisa dipastikan Smith bukanlah tanpa ambisi. Ia bahkan boleh dibilang sangat ambisius. Bedanya dari Dunlap ialah: Ambisi Smith disalurkan untuk tujuan bersama yang lebih besar, yaitu buat membangun perusahaan ? bukan dirinya sendiri ? agar jadi yang terhebat. Collins menyebut CEO seperti Smith ini sebagai ?Level 5 Executive?, yaitu eksekutif yang mampu membangun kehebatan yang langgeng melalui campuran yang tampak paradoks dari kerendahhatian pribadi dan tekad profesional. Semua perusahaan yang mampu mengibarkan diri dari sekadar bagus menjadi hebat, masih menurut mantan dosen Stanford University Graduate School of Business ini, memiliki CEO yang dalam konteks sufi disebut zuhud itu.

Contoh lain ialah Colman Mockler, CEO Gillete periode 1975 sampai 1991. Pada era Mockler, Gillete menghadapi tiga serangan yang mengancam peluang mereka untuk berkibar menjadi perusahaan hebat. Dua serangan di antaranya ialah tawaran hostile takeover dari Revlon yang dilancarkan Ronald Perelman ? corporate raider yang terkenal suka menyempal-nyempal perusahaan untuk dilego buat melunasi junk bonds dan membiayai lebih banyak penjarahan terhadap perusahaan lain. Serangan ketiga oleh Coniston Partners, kelompok investasi yang telah menguasai 5,9% saham Gillete dan melancarkan perang proksi untuk mengudeta manajemen dan berharap dapat menjual perusahaan ke penawar tertinggi.

Kalau waktu itu Gillete menerima tawaran Perelman, pemegang saham akan menerima gain 44% atau keuntungan jangka pendek US,3 miliar (untuk 116 juta saham yang beredar), termasuk Mockler sendiri yang akan meraup jutaan dollar. Tetapi lelaki pendiam yang santun ini tidak silau oleh kekayaan yang begitu gampang. Tanpa banyak bicara ia memimpin barisan manajemen melakukan perlawanan sengit. Ia dan seluruh manajemen eksekutif senior Gillete bekerja keras menghubungi ribuan investor perorangan ? satu demi satu ? dan, pada akhirnya, menang perang.

Mockler dan para eksekutif Gillete itu berjuang demi mempertahankan kedudukan sendiri dengan mengorbankan kepentingan para pemegang saham?

Justru sebaliknya. Mereka tahu betul, perusahaan sedang mempertaruhkan masa depannya pada investasi raksasa dalam sistem canggih berteknologi baru. Kalau pencaplokan itu berhasil, proyek ini akan ditinggalkan dan tak akan lahir yang namanya Sensor, Sensor for Woman, dan Match 3 ? sehingga jutaan (calon) pelanggan harus menggunakan cara bercukur yang kuno dan menyakitkan.

Kecuali itu, ketika perang proksi berlangsung, Sensor telah menjanjikan future profit yang tak terefleksikan dalam harga yang ditawarkan. Maklum, proyek Sensor sangat dirahasiakan. Dengan suksesnya Sensor, Mockler dan jajaran manajemen yakin, future value dari saham Gillete bakal jauh di atas harga yang ditawarkan. Artinya, kalau menyerah, hanya pemegang saham jangka pendek yang akan happy dan, karena itu, tak bertanggung jawab atas kepentingan pemegang saham jangka panjang.

Apa yang Mockler lakukan tak salah. Kalau pada 31 Oktober 1986 mereka menerima 44% harga premium yang ditawarkan Perelman dan menanam seluruh uang tersebut ke dalam indeks harga saham rata-rata selama 10 tahun, jumlah yang mereka terima tiga kali lebih jelek dibanding kalau tetap dalam bentuk saham perusahaan Gillete yang dipimpin Mockler.

Sayangnya, Mockler sendiri tak dapat sepenuhnya menikmati buah upayanya. Pada 25 Januari 1991, orang-orang Gillete menerima kopi sampul depan Forbes yang akan terbit. Di situ terpampang kolase artis yang menggambarkan Mockler berdiri di puncak gunung memegang produk Gillete ukuran raksasa. Sang CEO yang telah beberapa kali menolak untuk difoto agak terheran dengan posenya yang bak Conan sang Penakluk, di majalah itu. Ketika berjalan masuk ke ruang kantornya hanya beberapa menit setelah melihat pengakuan publik terhadap upayanya yang luar biasa gigih selama 16 tahun, Mockler terjatuh ke lantai dan meninggal karena serangan jantung.

Yang masih jadi pertanyaan: Mengapa jajaran manajemen bersedia mendukung sepenuh hati kebijakan sang CEO yang tak gampang dijalankan itu? Bagi para eksekutif Gillete, misalnya, bukankah kalau menerima tawaran Perelman hidup jadi lebih nyaman ? bisa pensiun dengan mewah?

Hanya concern terhadap kemaslahatan perusahaan, CEO seperti Mockler dan Level 5 Executive lain selalu memilih orang terbaik dalam jajaran manajemennya. Dan, tanpa pretensi pintar sendiri, mereka menaruh terlebih dulu orang tersebut pada posisi yang tepat ? serta mengeluarkan orang yang tidak tepat ditaruh di posisi mana pun ? sebelum menentukan hendak dibawa ke mana perahu bisnis yang dinakhodainya.

Strategi menentukan terlebih dulu 'siapa? ketimbang ?apa? ini memiliki setidaknya tiga kelebihan. Yang pertama: lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Bayangkan jika visi perusahaan telah ditetapkan terlebih dahulu, lalu di tengah jalan terjadi perubahan rencana, pasti akan muncul masalah (karena orang yang ditempatkan belum tentu tepat lagi untuk visi dan misi yang baru). Dalam hal menaruh orang yang tepat terlebih dahulu, mereka tak akan keberatan kalau perahu bisnis yang ditumpangi mengubah haluan. Maklum, mereka setidak-tidaknya sudah happy dengan tim yang terbentuk.

Yang kedua: kalau bisa mendapatkan orang yang tepat, masalah yang menyangkut cara memotivasi dan mengelola mereka tak perlu dikhawatirkan. Kelompok orang yang tepat tak perlu dimonitor kelewat ketat atau didorong-dorong. Mereka sudah termotivasi dari dalam untuk menghasilkan yang terbaik dan jadi bagian dari penciptaan sesuatu yang besar. Yang ketiga: kalau orangnya saja sudah salah, tak peduli sang CEO sudah mendapatkan visi yang benar, hasil yang hebat tak akan tercapai. Buat mencapai visi yang hebat, selalu diperlukan orang yang hebat.

Contoh paling jelas ialah kasus Wells Fargo. Pada awal 1970-an, CEO Dick Cooley melihat bahwa industri perbankan akan dilanda perubahan besar, tetapi ia tak mau berspekulasi akan perubahan yang bakal terjadi tersebut. Maka ketimbang mencoba menyusun strategi untuk perubahan, Cooley dan chairman Ernie Arbuckle memfokuskan diri pada upaya menarik tenaga terbaik yang bisa direkrut ? tanpa melihat latar belakang pendidikannya dan, sering, tanpa tahu pekerjaan spesifik yang akan diberikan kepada orang tersebut. Bahkan, menurut Collins, salah satu perusahaan yang mampu mengibarkan diri menjadi hebat tercatat merekrut orang yang dua kali tertawan pada Perang Dunia II dan dua kali berhasil meloloskan diri!

?Itulah cara terbaik membangun masa depan,? Cooley memberikan alasan mengapa ia mengumpulkan bakat terbaik yang ada. ?Kalau aku tidak cukup pintar melihat perubahan yang bakal datang, mereka akan mampu. Mereka juga akan cukup fleksibel menghadapi perubahan tersebut.?

Cooley benar. Ketika datang perubahan yang tak terduga akibat deregulasi, tak ada mampu menghadapinya sebaik Wells Fargo. Ketika sektor perbankan terjun bebas 59% dibanding pasar secara umum, Wells Fargo mampu mengalahkan pasar tiga kali lipat lebih. Carl Reichardt yang menjadi CEO pada 1983 mengakui bahwa sukses ini berkat orang di sekelilingnya yang sebagian besar merupakan warisan Cooley.

?Mereka itu,? tak kurang dari seorang Warren Buffett memuji, ?adalah tim terbaik.? Bagaimana tidak, hampir semua anggota tim yang bergabung dengan Wells Fargo pada era Cooley-Reichardt menjadi CEO perusahaan besar lain. Bill Aldinger menjadi CEO Household Finance, Jack Grundhofer jadi CEO U.S. Bancorp, Frank Newman jadi CEO Bankers Trust, Richard Rosenberg jadi CEO Bank of America, Bob Joss jadi CEO Westpac Banking (salah satu bank terbesar Australia) dan, belakangan, dekan Graduate School of Business pada Stanford University.

Mendapatkan dukungan solid tim manajemen yang kompeten, seorang Level 5 Executive berani menghadapi kenyataan ? bagaimana pun pahitnya. Ketika pada 1960-an terseok di pasar, beberapa rantai toko grosir tradisional mulai melakukan eksperimen dengan konsep superstore, termasuk Kroger dan Atlantic and Pacific Tea Company (A&P). Waktu itu, A&P yang merupakan raksasa ritel terbesar di dunia meluncurkan The Golden Key.

Keduanya mendapatkan kenyataan yang sama: Masyarakat lebih menyukai superstore ketimbang rantai toko tradisional yang merupakan bisnis inti mereka. A&P tak menyukai temuan ini dan menutup The Golden Key. Mereka tetap mempertahankan konsep rantai toko tradisional yang telah membawa A&P ke puncak selama lebih dari seabad dengan cara apa pun, terutama pemangkasan harga yang agresif. Tetapi, karena yang diinginkan masyarakat pelanggan ialah kenyamanan dan layanan yang lebih baik, A&P akhirnya bangkrut.

Sebaliknya, manajemen Kroger yang dikomandani CEO Jim Herring berani pro-aktif terhadap kenyataan lapangan: Toko superkombinasi merupakan masa depan dan, agar bisa bertahan, harus menjadi nomer satu atau nomer dua di setiap pasar. Maka, mulai 1970 mereka menghapus, mengubah, atau mengganti setiap toko dan hengkang dari setiap kawasan yang tak sesuai dengan realitas baru tersebut. Bisnis yang telah berakar selama puluhan tahun diubah sama sekali ? toko demi toko, blok demi blok, kota demi kota, negara bagian demi negara bagian. Dengan demikian, pada awal 1990-an Kroger telah membangun seluruh sistem dari model bisnis yang sama sekali dan berhasil mengibarkan diri menjadi rantai pertokoan nomer satu di Amerika Serikat, setidak-tidaknya sampai 1999.

Pada beberapa perusahaan, perubahan yang harus dilakukan untuk mengibarkan diri begitu besar sampai harus keluar dari kepompong kemapanan yang telah mendarah daging. Kasus Kroger atau Wells Fargo barulah contoh kecil. Di Wells Fargo, misalnya, perubahan orientasi yang harus dilakukan cuma kerelaan untuk ?hanya? jadi bank regional di kawasan Pantai Barat Amerika (bukan bank global seperti Citicorp) dan memperlakukan diri sebagai ?bisnis? (yang harus memperhitungkan betul faktor biaya) ketimbang ?bank konvensional? (dengan gaya hidup bankirnya cenderung bermewah-mewah).

Bandingkan dengan yang harus dilakukan Abbott Laboratories. Sepanjang sejarah bisnisnya berkiprah di industri farmasi, pada 1967 tiba-tiba Abbott harus menerima kenyataan bahwa mereka tak mungkin jadi perusahaan farmasi yang terbaik. Kalau harus bersaing dengan Merck yang memiliki R&D begitu maju, Abbott yang sejak lama hanya bisa mengandalkan produk antibiotika eritromisin ibarat kesebelasan kelas kelurahan yang mesti melawan kesebelasan nasional Brazil. Satu-satunya peluang untuk berkibar, CEO George Cain sadar, adalah masuk ke produk yang memberikan kontribusi terhadap perawatan kesehatan yang cost-effective.

Waktu itu, Abbott telah bereksperimen dengan produk nutrisi rumah sakit (yang dirancang buat membantu pasien memulihkan kekuatan dengan cepat setelah operasi) dan peralatan diagnostik (salah satu cara utama menurunkan biaya perawatan kesehatan ialah melalui diagnosis yang benar). Maka, walau bisnis inti mereka, farmasi, memberikan 99% pendapatan, Abbott dengan berani ? dan konsisten ? mengubah visi bisnisnya.

Seperti menggerakkan roda besar, Abbott melakukannya satu putaran demi satu putaran, terus-menerus sampai sepuluh, seratus, seribu putaran. Pada putaran pertama, roda bisnis mereka jelas tak bisa bergerak kencang. Tetapi, semua jadi semakin gampang, gerak bisnis kian lancar, dengan terbentuknya momentum yang ikut mendorong putaran berikutnya.

Setiap tahun Abbott mengumumkan target pertumbuhan, katakanlah 15%, kepada kalangan Wall Street. Pada saat yang sama mereka menetapkan target internal yang jauh lebih tinggi, misalnya 25% atau 30%. Sementara itu, manajemen juga minta R&D membuat daftar proyek bisnis yang belum mendapatkan dana yang mereka sebut sebagai Blue Plans. Nah, menjelang akhir tahun, Abbott akan menampilkan angka pertumbuhan yang melebihi ekspektasi analis, yaitu lebih dari 15%, tetapi masih lebih rendah ketimbang pertumbuhan aktual. Beda antara angka yang ?membuat para analis happy? itu dan pertumbuhan sebenarnya disalurkan ke Blue Plans.

Dengan cara ini Abbott dapat mengelola tekanan jangka pendek dari Wall Street sekaligus secara sistematik melakukan investasi untuk masa depan. Hasilnya: memasuki 1974 nilai saham Abbott meroket sehingga pada 2000 mengalahkan indeks harga saham rata-rata sampai 4,5 kali, bahkan mengalahkan kinerja kampiun industri farmasi Merck dan Pfizer. Sebagai pembanding, perusahaan sejenis yang sebelumnya memiliki kinerja mirip tetapi ngotot bertahan di bisnis farmasi yang tak dapat diandalkan lagi, Upjohn, nilai sahamnya terpuruk 89% di bawah Abbott sebelum akhirnya dicaplok oleh Pharmacia pada 1995.

Untuk memantau kemajuan kinerjanya, perusahaan yang berupaya mengibarkan diri menjadi hebat harus memiliki denominator ekonomi yang jelas. Abbott, misalnya, mengadopsi parameter laba/karyawan, bukan lagi laba/lini produk seperti ketika masih berkiprah di industri farmasi sebagai denominator ekonomi. Gillete memakai parameter laba/pelanggan bukan lagi laba/divisi. Kimberley-Clark yang memosisikan diri sebagai perusahaan konsumer beralih ke laba/consumer brand dari laba/aset tetap (kilang kertas).

Demikian juga Kroger yang tak lagi menggunakan parameter laba/toko melainkan laba/populasi lokal untuk menunjukkan banyaknya orang yang berbelanja dan jumlah yang dibelanjakan dalam suatu populasi di kawasan tertentu. Perusahaan ritel lain, Walgreens, memilih parameter laba/pelanggan sebagai pengganti laba/toko. Bersenjatakan data denominator ekonomi yang tepercaya, Walgreens berani menjenuhi pasar tertentu di San Francisco dengan kepadatan sampai sembilan toko dalam radius satu mil. Penjenuhan ini meningkatkan skala ekonomi lokal yang menghasilkan lebih banyak dana tunai untuk membangun lebih banyak toko di pasar tersebut yang pada gilirannya akan menarik lebih banyak pelanggan.

Buat melayani pelanggan yang membanjir itu ? sekaligus menarik lebih banyak pelanggan baru ? Walgreens tak segan menggelontorkan dana untuk mengembangkan teknologi canggih. Tetapi, seperti Level 5 Executive lain, CEO Charles R. Walgreen III sadar betul bahwa teknologi itu hanya akselerator, bukan kreator, momentum. Ketika drugstore.com muncul pada akhir 1990-an, misalnya, ia memilih untuk diam dulu: berpikir. Padahal, waktu itu tekanan pasar terhadap Walgreens sangat berat.

Berbulan-bulan drugstore.com masuk bursa pada 28 Juli 1999, saham Walgreens anjlok 40%. ?Mereka kelewat tua dan kaku untuk dunia Internet. Mereka akan tertinggal,? ujar seorang eksekutif bisnis terkait Internet tentang Walgreens.

Tanpa merasa perlu terburu-buru, Walgreens bereksperimen dengan situs Web seraya terus melakukan debat intensif tentang pengaruhnya terhadap konsep bisnis mereka. ?Bagaimana Internet bisa nyambung dengan konsep kenyamanan berbelanja? Bagaimana kami bisa mengaitkan itu dengan denominator arus kas/kunjungan pelanggan? Bagaimana kami bisa memanfatkan Internet buat meningkatkan apa yang sudah terbukti kami lakukan lebih baik ketimbang perusahan lain dan dengan cara yang menyenangkan??

Setelah berhasil mengaitkan Internet secara langsung dengan model inventori-dan-distribusi mereka yang canggih dan, akhirnya, dengan konsep convenient store, baru Walgreens mulai bersicepat. Dengan sistem itu, pelanggan bisa menulis resep secara online, datang ke fasilitas drive through Walgreens di mana saja (bahkan ketika sedang bepergian ke luar negara bagian), lalu didapatlah obat yang diresepkan tersebut. Atau, kalau, mau, bisa juga obat tadi diantar ke rumah.

Semua itu dilakukan dengan tenang dan terencana, tanpa upacara yang gegap gempita. Tetapi, begitu sambutan pelanggan terlihat bagus, Walgreens langsung lari kencang ?menggelontorkan banyak dana buat membangun sistem tercanggih dan terancang bagus laiknya perusahaan dotcom murni. Hasilnya: Pada 2000, layanan Walgreens.com sudah secanggih Amazon.com (pelopor raja e-commerce), mendongkrak nilai saham mereka menjadi hampir dua kali lipat dalam tempo setahun (sejak nilai terendah 1999). Sebaliknya, drugstore.com yang terus saja berdarah keuangannya semakin kehilangan pamor dan mendekat ke jurang kebangkrutan.

Kehebatan lain seorang Level 5 Executive adalah dalam mencari penggantinya. Ketika David Maxwell menjadi CEO Fannie Mae pada 1981, BUMN Amerika Serikat yang menangani hipotek (juga kredit pemilikan rumah, KPR) ini merugi US juta/hari sehingga US56 miliar set mereka dalam bentuk pinjaman terancam perdarahan hebat. Dengan mengarahkannya menjadi perusahaan yang terbaik dalam menilai risiko hipotek, Maxwell berhasil mengibarkan Fannie Mae menjadi perusahaan Wall Street dengan earning US jut/hari dan kinerja saham yang 3,8 kali lebih baik ketimbang indeks harga saham rata-rata.

Maxwell mengajukan pensiun ketika ia masih berjaya tetapi khawatir akan membuat kinerja Fannie Mae menurun kalau bercokol kelewat lama. Dengan legawa, ia menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada eksekutif yang sama andalnya: Jim Johnson. Lalu, ketika sukses yang dibukukan membuat Fannie Mae harus menghadapi orang di Washington yang mempertanyakan paket pensiunnya yang kelewat besar (yang sebetulnya wajar, mengingat peningkatan kinerja perusahaan yang luar biasa), Maxwell menginstruksikan kepada Johnson untuk tidak membayarkan sisanya, US,5 juta, dan memasukkan uang haknya tersebut ke Yayasan Fannie Mae untuk membantu pengadaan rumah bagi kalangan kurang mampu.

Tentu saja tak mudah menjadi Level 5 Executive, seperti juga tak mudah menjadi zuhud. Bahkan di negara yang terkenal dengan profesionalnya yang brilian dan tradisi charity-nya yang kental, Collins hanya menemukan CEO dari 11 perusahaan yang layak disebut sebagai Level 5 Executive. Padahal, ketika melakukan riset untuk menulis Good to Great itu, Collins dan orangnya yang tergabung dalam management research laboratory di Boulder, Colorado, membedah 1.435 perusahaan yang muncul dalam majalah Fortune sejak 1965.

Tetapi, kalau menjadi Level 5 Executive tidak mudah, bukan tak mungkin bagi Anda, para CEO di negeri tercinta ini, untuk paling tidak membantu menumbuhkan atau mencari pemimpin yang luar biasa tersebut.

Prih Sarnianto
Riset: Siti Sumariyati


Boks:
Perusahaan yang berhasil mengibarkan diri menjadi yang terhebat di bidangnya ? dan mampu mempertahankan kehebatan tersebut dalam tempo cukup lama ? ternyata memiliki profil pemimpin yang mirip: Rendah hati tetapi memiliki tekad profesional yang besar. Orang yang zuhud ini, lebih seperti Abraham Lincoln dan Socrates ketimbang Jenderal George Patton dan Julius Caesar, juga memiliki strategi yang hampir sama:
? Memilih siapa? baru apa. Kebanyakan dari kita menduga bahwa para pemimpin hebat akan memulai sesuatu dari menetapkan visi atau strategi baru. Ternyata tidak, mereka memilih dulu orang yang tepat dan menaruhnya di posisi yang tepat (serta membuang orang yang tidak tepat) ? baru menentukan arah yang dituju.
? Berani menghadapi kenyataan terpahit (dan tak pernah kehilangan harapan). Mereka yakin bahwa pada akhirnya akan sukses, tak peduli berapa besar kesulitan yang menghadang dan, pada saat yang sama, berani menghadapi kenyataan terpahit, apa pun itu.
? Konsep yang terfokus. Hanya karena sesuatu telah menjadi bisnis inti yang telah dilakukan selama betahun-tahun bukan berarti perusahaan kita bisa menjadi yang terbaik dalam bisnis tersebut. Dan kalau tak dapat menjadi yang terbaik dalam bisnis inti, berarti bisnis tersebut tak dapat jadi basis untuk mengibarkan diri sebagai perusahaan hebat. Temukan visi baru, yang menempatkan perusahaan jadi terhebat di bisnis tertentu, punya nilai ekonomi yang cukup tinggi, dan kita senang melakukannya.
? Budaya disiplin. Semua perusahaan memiliki budaya, beberapa memiliki displin, tetapi hanya segelintir yang punya budaya disiplin. Jika memiliki sumber daya manusia (SDM) yang disiplin, tak diperlukan hirarki. Kalau punya pemikiran yang disiplin, tak diperlukan birokrasi. Dengan adanya diciplined action, tak diperlukan kontrol yang berlebihan. Kombinasikan budaya disiplin tersebut dengan etos kewirusahaan, kita akan memiliki ramuan ajaib untuk kinerja yang hebat.
? Memanfaatkan teknologi sebagai akselerator. Perusahaan yang hebat tak menggunakan teknologi sebagai pemicu transformasi. Tetapi, mereka juga berani menjadi pionir penggunaan teknologi yang dipilih secara hati-hati.
? Selangkah demi selangkah. Mereka yang meluncurkan program perubahan yang revolusioner dan restrukturisasi yang cepat hampir bisa dipastikan bakal gagal. Sehebat apa pun hasil akhir yang dicapai, tak pernah kinerja tersebut diraih dalam sekali lompatan besar. Semua berjalan selangkah demi selangkah ? tak ada momen keajaiban ? sampai akhirnya terbentuk momentum yang memungkinkan perusahaan untuk tinggal landas.

 

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut