Kamis, 01 Mei 2008

RM Sederhana: Berkembang dengan Kemitraan

RM Sederhana: Berkembang dengan Kemitraan
Kamis, 08 Januari 2004
Oleh : Darandono

Bustaman, pemilik Rumah Makan Sederhana, mengaku tidak menyangka bisnis yang dirintisnya akan sebesar sekarang. Padahal, ia merintis bisnis ini pada 1971 dengan menggunakan tenda ala kadarnya dan gerobak dorong. Untuk memulai usaha ini, mantan pedagang rokok ini harus menjual seluruh rokok dagangannya untuk modal. Dari hasil penjualan rokok, saat itu ia hanya mendapat Rp 15 ribu. Uang segitu ternyata tidak cukup sebagai modal kerja. Beruntung, istrinya mendapat pinjaman dari keluarga, meskipun tidak besar. Lalu, dengan Rp 30 ribu, pria kelahiran Padang 61 tahun lalu ini nekat membuka warung makan pertama di Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Selatan. "Kawasan tersebut sudah ramai dan belum banyak yang berjualan nasi (di sana)," kata Bustaman, membuka alasannya.

Dalam tempo setahun, hasilnya mulai terlihat. Setiap hari, warung ini mampu menjual sekitar 150 porsi dengan harga Rp 60/porsi atau dengan omset Rp 9 ribu/hari. Tahun 1974, ia membeli dua kios yang masing-masing berukuran 3x4 m seharga Rp 300 ribu dengan uang muka 20%, dan cililan Rp 9 ribu/bulan selama dua tahun.

Setahun kemudian ia menyewa kios seluas 6x15 m di Roxy dengan harga sewa Rp 200 ribu/bulan. Semenjak itulah, RM Sederhana tumbuh dengan mencetak penjualan Rp 300-400 ribu/hari. Ketika pada 1980 para pedagang di Benhil mendapat kemudahan memperoleh kredit pengembangan usaha, Bustaman pun tidak mau ketinggalan. Saat itu, ia mendapatkan kredit Rp 3 juta yang digunakan untuk membuka beberapa rumah makan. Maklum, bila hanya mengandalkan modal sendiri, RM Sederhana tak akan cepat berkembang.

Untuk mempercepat pengembangan RM Sederhana, Bustaman menggandeng mitra. Cara pertama, pola kerja sama dengan modal ditanggung bersama dan hasil dibagi dua. Pola kedua, Bustaman hanya sebagai pengelola, sedangkan semua modal ditanggung mitra. Dengan pola ini, 70% keuntungan untuk mitra dan 30% untuk pengelola. Dari 30% keuntungan yang didapat, 50% untuk Bustaman dan sisanya untuk karyawan.

Dengan pola pengembangan seperti itu, kini ada 30 lebih RM Sederhana. "Ada yang beromset di bawah Rp 1 juta/hari, ada juga yang mencapai Rp 3 juta/hari," katanya. Kunci sukses lainnya? "Yang penting, harganya terjangkau," ujarnya. Harga, menurutnya, hanyalah salah satu faktor. Ia juga memperhatikan kualitas, layanan dan kenyamanan pelanggan. Ke depan, Bustaman akan terus mengembangkan jumlah rumah makannya. Sayang, diakuinya, sebagian tengah dilanda masalah, yakni beberapa mitra ingin membuka sendiri. "Kami sedang menyelesaikan dan menempuh jalur hukum," tuturnya.

 (swa)
URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=163

 

Bakmi Japos: Dari Warung Tenda ke Waralaba

Bakmi Japos: Dari Warung Tenda ke Waralaba
Kamis, 08 Januari 2004
Oleh : S. Ruslina

Tahun 1992, Tjoa Heng Lie alias Hengky masih mangkal membuka warung tenda di depan bangunan bekas kantor pemasaran pengembang perumahan Japos, Kreo, berjualan mi. Sepuluh tahun kemudian, Hengky bukan sekadar jualan mi, melainkan sudah menjadi rajanya mi.

Perjalanan Hengky dengan Bakmi Japosnya tergolong dahsyat. Hanya dalam waktu singkat dan modal tak kurang dari Rp 750 ribu pada waktu itu, kini Bakmi Japos memiliki 22 cabang dengan omset miliaran rupiah setiap tahun. Prestasi ini tidak main-main. Tidak banyak pengusaha yang berhasil membalikkan sejarahnya dalam waktu singkat -- dari warung tenda menjadi pemilik dan pengembang waralaba Bakmi Japos.

"Modal saya keuletan. Saya hanya berpikir, bagaimana agar bakmi saya bisa diterima pasar," papar Hengky yang sempat jatuh-bangun sebagai penjual makanan mengenai rahasia suksesnya. Setelah beberapa waktu berjalan, Hengky punya lima resep lain bagaimana memenangi pasar, yakni: menang rasa, menang harga, menang porsi, menang suasana dan menang pelayanan.

Yang dimaksudkan menang rasa adalah baik bakmi maupun makanan lain seperti hot plate, sapo tahu, kepiting, udang asam manis buatannya, harus memiliki rasa khas yang disukai sekaligus dipercayai kehalalannya oleh pengunjung. Karena itu, Hengky sengaja menempatkan ruang dapur di muka restoran, agar pengunjung dapat melihat langsung proses memasak dan leluasa bertanya pada kru di dapur mengenai bahan-bahan yang digunakan. "Sertifikasi halalnya masih dalam proses," ujar Hengky tentang masakannya.

Kemudian, menang harga dimaksudkan harga Bakmi Japos harus lebih murah ketimbang resto-resto bakmi di kelasnya. "Dengan uang Rp 10 ribu sudah bisa makan di Japos," ujarnya. Adapun konsep menang porsi, menurutnya, memberikan porsi lebih besar dan lebih banyak ketimbang yang lainnya. Dengan konsep porsi lebih besar, Hengky ingin menyampaikan kepada pelanggan bahwa porsi yang disajikan bisa disantap untuk beberapa anggota keluarga.

Seiring perjalanan waktu, ayah seorang anak ini menambah satu konsep lagi, yakni suasana. Untuk itu, Bakmi Japos cabang ke-6 di bilangan Bintaro Sektor 7, Tangerang menjadi gerai percontohan sekaligus kantor pusat. Gerai seluas 1.500 m2 ini meliputi dapur, ruang makan, ruang makan VIP, kafe dan tempat pertunjukan musik. Bahkan, khusus di tempat ini pula, Bakmi Japos buka 24 jam nonstop (tiga shift). "Tidak seperti kafe-kafe yang mengundang artis tenar, hiburan di sini hanya sebagai sarana pelengkap,? tutur Hengky.

Dari sekian konsep yang dijalankan, menurut Hengky, yang terbilang paling sulit direalisasi adalah menang pelayanan. Ada tiga versi pelayanan di Bakmi Japos, yakni: eat in (pelanggan makan di tempat), take a way (dibawa pulang), dan delivery order. Ketiganya membutuhkan perlakuan khusus agar dapat menjadi pelayanan yang diberikan secara optimal.

Guna mempercepat pertumbuhan, sejak 2003 Hengky menerapkan sistem waralaba. Dari 22 gerainya kini, 12 di antaranya dibangun dengan sistem waralaba. Investasi yang harus dikeluarkan kepada mitra waralaba berkisar Rp 1,5 miliar (untuk alat bantu kerja, SDM, dan pengadaan bahan baku, tidak termasuk sewa gedung). "Saya menargetkan break even point kurang-lebih tiga tahun," Hengky berujar.

Bagi pewaralaba, mereka harus membayar royalti 6% total penjualan dan akan memperoleh keuntungan tipis 12%-14%. Kendati begitu, ternyata tak membuat mitranya lari meninggalkan Bakmi Japos. Sebab, dengan membuka Bakmi Japos, sepertinya sudah jaminan pengunjung bakal datang berduyun-duyun. Dari pengalaman Hengky selama ini, setiap hari setidaknya 500 tamu berkunjung ke Bakmi Japos. Bahkan, ada beberapa gerai yang bisa menyedot 1.000 pengunjung per hari.

Tahun 2004, Hengky berencana membuka 6 gerai di beberapa titik Ibu Kota. Selain itu, ia juga akan mencoba peruntungan keluar Jakarta, yakni membuka cabang Bandung. Bandung menjadi salah satu proyek percontohan, untuk melihat masih dapatkah pengontrolan dilakukan dengan baik.

Menurut Rhenald Kasali, pengamat dari Program Ilmu Manajemen Pascasarjana Universitas Indonesia, berkembangnya kewirausahaan Bakmi Japos, tak lain karena sosok Hengky yang memiliki semangat juang yang kuat. Dendam dengan kemiskinan membuatnya terus mencoba segala hal. Kemiskinan ini yang membuat dia berani menghadapi rintangan. Setelah malang melintang mengais rezeki, pada akhirnya ia menemukan faktor keberuntungan. Sebenarnya, lanjut Rhenald, Hengky tak sekadar beruntung. Pria 43 tahun ini pasti memiliki kreativitas dan akal yang panjang. Kalau tidak, mana mungkin Bakmi Japos bisa berkembang seperti sekarang?


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=166

 

Sutanto Hartono: CEO yang Gemar Menyambangi Bawahan


Sutanto Hartono: CEO yang Gemar Menyambangi Bawahan
Rabu, 21 Januari 2004
Oleh : Ishak Rafick

Orang yang tak mengenal Sutanto Hartono mungkin akan mengira laki-laki berusia 36 tahun ini sangat kaku. Jalannya cepat. Raut mukanya oriental, mungkin lebih mirip orang Jepang atau Korea ketimbang Indonesia.

Gaya bicaranya amat cepat, sehingga terkadang menyulitkan lawan bicaranya. Namun, begitu Anda mengenalnya lebih dekat, Sutanto kebalikan dari kesan sepintas itu. Di mata rekan dan bawahannya, mantan CEO Sony Music Entertainment Indonesia (SMEI) ini sosok yang ramah dan penuh perhatian. Tak heran, ia bisa terpilih sebagai salah satu The Best CEO di Indonesia. Dalam hajatan reguler Majalah SWA, Synovate dan Dunamis tahun 2003, Sutanto berhasil menduduki posisi ketiga. Pria yang kini menjabat Direktur Pengelola PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) itu berada di bawah bos Gramedia Jacob Oetama dan Pramukti (Presdir dan CEO Bank NISP).

Tak ada yang keberatan terhadap penobatan Sutanto sebagai The Best CEO 2003, lantaran pria yang tampil bersahaja ini telah membuktikan kepiawaiannya memimpin SMEI. Sentuhan tangan dinginnya selama 7,5 tahun berhasil mengorbitkan perusahaan yang ikut dibidaninya itu menjadi raja di industri rekaman di Tanah Air, jauh melampaui Warner Music, EMI, dan Polygram. SMEI kini mengantungi pangsa pasar 30%. Pesaing terdekatnya ialah Universal dan Musica Studio, masing-masing menguasai 15% dan 20% industri musik di Indonesia. Toh, penyandang MBA dari Universitas Kalifornia, Berkeley, ini mengaku kaget, ketika diberitahu namanya berada di jajaran CEO terbaik 2003. "Saya kaget, tapi juga gembira karena orang yang pernah saya pimpin dulu telah memilih saya sebagai CEO terbaik. Berarti mereka menghargai semua yang telah saya lakukan di SMEI," ujarnya bersemangat. SMEI mulai beroperasi secara resmi pada 1996.

Tak seperti para pesaingnya yang lebih dulu hadir di Indonesia, waktu mendirikan SMEI, sang induk -- Sony Music --tidak berpatungan dengan perusahaan lokal. Jadi, saham SMEI 100% dimiliki oleh Sony Music International. Hanya, untuk mengelolanya Sony Music yang bermarkas di New York itu punya cara unik: seluruh organisasinya diserahkan kepada orang lokal. Sutanto, yang pernah meniti karier di Procter & Gamble (1989-91) dan sempat menorehkan namanya di Booz and Allen sampai 1996 sebagai Senior Associate Financial Services, ditunjuk untuk men-set up dan mengelola perusahaan baru itu. Begitulah bak pesawat ketemu pilot yang tepat, SMEI tak memerlukan waktu lama untuk melunakkan pasar Indonesia. Ini terbukti beberapa tahun kemudian, perusahaan itu menjelma menjadi perusahaan industri rekaman paling besar, kreatif, dan paling berani di Indonesia. Perusahaan ini juga tak segan mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk mencari dan mengobitkan grup band dan penyanyi Indonesia dengan tingkat penjualan kaset dan compact disc (CD) yang dulu hanya bisa dicapai pemusik barat. Mereka antara lain Warna, Padi, Rif, Gigi, Kla Project, Wong, Andre Hehanusa, dan tentu saja Sheila On 7 (So7) yang album perdananya terjual di atas 1 juta kopi. Album kedua So7 bahkan terjual sampai 1,8 juta kopi.

Tak heran, nama Sony dan Sutanto bisa menancap di hati para artis dan pelaku bisnis entertainment. Sebagai perintis, dikatakan Manajer Pemasaran Strategis SMEI Vinca Roseana, Sutanto memang terlibat dalam semua lini. "Sutanto adalah figur pemimpin yang wise dan open minded," kata Vinca bersungguh-sungguh. "Dia penuh perhatian dan tak segan mendatangi bawahannya untuk menyelesaikan masalah," tambahnya. Ada pengalaman khusus tentang ini? "Ya, saya kan di bagian marketing. Secara struktural kan jauh, tapi dia kerap datang ke ruangan saya untuk menanyakan keluhan dan perkembangan di bagian marketing," jawab Vinca. Begitu pun, ketika bagian pemasaran mengeluarkan terobosan baru, Sutanto selalu memberikan ruang dan kesempatan luas untuk mencoba. Kendati ia selalu minta perhitungan dan analisis yang matang, tetapi kalau terobosan itu masuk akal, menurut Vinca, ia akan mengizinkan. Sementara itu, bila perhitungannga ia anggap masih kurang bagus, Sutanto akan menganjurkan untuk mendalami masalahnya, baru mengajukannya lagi. ?Dengan diberi kesempatan seperti itu, kami merasa tercambuk terus untuk berkreasi dan berinovasi,? tutur Vinca. Lelaki kelahiran Yogyakarta 1967 itu sering terjun membantu tenaga pemasarannya, sekadar mencari invoice yang hilang ke beberapa agennya di Glodok.

Kebiasaannya itu pada gilirannya menimbulkan respek mendalam di hati anak buahnya. Bawahan yang awalnya risi ketika disambangi, lama-lama jadi hormat dan tak malu-malu minta bantuan Sutanto bila mengalami kesulitan di lapangan. Sutanto cuma tersenyum ketika diceritakan kesan anak buahnya terhadapnya. "Saya memang sudah biasa terlibat secara full," Sutanto mengungkapkan. Harus diakui, Sutanto memang berhasil membangun kultur kebersamaan antara karyawan dan atasan. Jarak di antara mereka seolah-olah menjadi nol. Setiap kali para bawahan menemui kesulitan, mereka bisa langsung mananyakan atau minta saran atasannya saat itu juga. Ia menggambarkan perusahaan seperti keluarga, yang setiap anggotanya kompak dan bahu-membahu dalam setiap pekerjaan. Kantor, dalam filosofi Sutanto, merupakan rumah kedua. Karena itu, masalah yang dipikirkan pemimpin tidak lagi hanya sebatas pada bagaimana bisa memberikan bonus, menaikkan gaji atau meningkatkan pangsa pasar dan sejenisnya. Namun yang lebih penting lagi, pemimpin harus benar-benar memperhatikan sisi kemanusiaan seluruh karyawan. Menurut dia, CEO harus benar-benar peka, jangan hanya menuntut karyawan bekerja keras untuk perusahaan, tapi tak peduli masalah keluarga mereka. Sebagai contoh, ketika ada karyawan yang jenuh berada di suatu departemen, pemimpin harus cepat mencarikan solusi, misalnya memindahkan ke bagian lain yang cocok. ?Jangan dibiarkan berlarut-larut, prestasinya pasti menurun," tuturnya. Dengan cara itu, ia yakin, mereka akan merasa diperlakukan sebagai manusia dan perusahaan diuntungkan.

Prestasi dan kepiawaian Sutanto membangun budaya kerja perusahaan tidak saja diakui bawahan dan rekannya di SMEI, tapi juga menjadi perhatian Sony Music International. Ini bisa dilihat ketika Sutanto dipercaya menangani Sony Music Malaysia pada 2001. Memasuki tahun 2002, perusahaan induknya itu bahkan memberinya kepercayaan lebih besar dengan mengangkatnya menjadi Vice President Sony Music untuk South East Asia. Menurut Direktur Pemrograman RCTI Lala Hamid -- dulu pernah bekerja di bawah Sutanto di SMEI, keberhasilan Sutanto yang juga layak diacungi jempol ialah menjadikan dunia hiburan sebagai industri. "Perusahaan entertainment biasanya dimiliki keluarga dan umumnya lebih mengandalkan feeling. Sutanto menjadikannya industri. Karena itu, ia lebih mengandalkan prosedur dan perhitungan dari pada feeling," Lala menjelaskan. Hasilnya, tambah dia, bisa kita lihat sendiri. SMEI dalam beberapa tahun berubah menjadi pemimpin di industri hiburan dan rekaman di Indonesia.

Di RCTI pun, Lala berujar, gaya manajemen yang diterapkannya sama dengan di SMEI. Bahkan, karena industrinya agak beda, Sutanto tak segan mempelajari seluk-beluk pekerjaan bawahannya, misalnya bagian programming. ?Sutanto merupakan pemimpin yang layak ditiru," Lala menekankan. Menurut Sutanto, satu hal yang paling penting di dunia entertainment ialah relationship. Hal ini pada dasarnya juga penting di industri lain, tapi jauh lebih penting bagi bisnis entertainment. Relationship ini terkait erat dengan stakeholder. Ini bisa berarti hubungan dengan staf, juga bisa dimaknai hubungan dengan artis di lingkungan perusahaan. "Ketika artis memutuskan bergabung ke SMEI, mereka tidak semata-mata melihat kredibilitas perusahaan, tapi juga seberapa bagus servis yang diberikan perusahaan kepada mereka atas dasar hubungan saling menguntungkan dan profesionalisme. Royalti, misalnya, harus adil dan pembayarannya jangan molor-molor," jelas Sutanto setengah bercanda.

Sutanto mengaku selama memimpin SMEI selalu berupaya menyeleraskan berbagai kepentingan dan masalah antardepartemen. Maksudnya? Di SMEI, ia menjelaskan, ada berbagai bagian (departemen) yang cara kerja dan cara pandangnya terhadap masalah berlainan, bila tak mau disebut bertabrakan. Bagian talent (pencari bakat), misalnya, dalam pekerjaannya selalu mencari potensi artis baru (penyanyi berbakat). Kemudian, mereka dibuatkan aransemen lagu dan albumnya sekaligus. Mereka terdiri atas orang kreatif. Pertimbangan mereka ialah output berupa karya, bukan untung-rugi. Sebaliknya, orang di bagian keuangan hanya melihat berdasarkan untung-rugi. Kedua bagian ini sering bentrok lantaran keputusan yang mereka buat tidak match. Juga, soal desain. Orang kreatif maunya colourfull, sedangkan bagian keuangan maunya hitam-putih yang lebih murah. Begitu juga misalnya ketika berbicara dengan orang grafis. Mereka tidak mementingkan faktor uang semata, tapi prestise. Misalnya, seberapa banyak lagu yang dihasilkan untuk bisa menang di ajang Anugerah Musik Indonesia? Atau, seberapa jauh lagu yang dihasilkan bisa masuk chart radio favorit. "Nah, tugas pemimpin ialah menjaga keseimbangan itu agar perusahaan bisa jalan dan menguntungkan semua pihak," kata suami Tina Ratna Utari ini.

Menyelaraskan berbagai kepentingan itu, menurut dia, memang tidak gampang, tapi juga bukan mustahil. "Itu sebabnya, diperlukan upaya pembelajaran terus-menerus dan mau belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Itu kuncinya," Sutanto menegaskan lagi. Sutanto mengaku pernah melakukan kesalahan. "Saya pernah menerapkan kebijakan untuk mengeluarkan kaset (album), tanpa harus dibarengi dengan CD-nya sekaligus. CD baru akan dikeluarkan ketika kasetnya sudah mencapai titik penjualan tertentu yang sudah ditetapkan perusahaan. Kebijakan ini terus dijalankan selama beberapa tahun," tuturnya. Secara komersial memang tidak ada masalah, tapi dari sisi artis, itu jadi masalah. Bagi mereka, kaset dan CD merupakan karya seni yang punya nilai historis. Mereka merasa kurang pas jika pemunculan kaset didahulukan.

Mereka mau hal itu dilakukan bersamaan. "Setelah mendapatkan masukan itu, saya ikuti kemauan mereka." Dalam upaya memberdayakan karyawan, Sutanto paling tidak melakukan dua hal. Pertama, memberikan pelatihan langsung kepada anak buah di semua departemen. Kedua, mengajak anak buahnya keluar daerah mengikuti pelatihan dari konsultan yang diundangnya. Meski posisinya di SMEI sudah bagus, Sutanto agaknya masih belum puas. Tak heran, ia kemudian berani meninggalkan almamaternya itu untuk menjajal kemampuannya di RCTI. Menurut dia, profesional di industri pertelevisian, terutama di level direksi, masih amat kurang. Ia merasa tertantang mencobanya. Baginya, dilihat dari sisi industri, SMEI dan RCTI tidaklah jauh berbeda. Bedanya, di SMEI ia cuma membawahkan 50 karyawan, atau bila digabung total karyawan SMEI di Asia Tenggara hanya 200 orang. Adapun di RCTI ia memimpin 650 karyawan. Pola manajemen yang dipakainya untuk membangun SMEI akan ia terapkan di RCTI, mungkin dengan sedikit modifikasi. Sutanto tidak berlebihan. Gayanya yang tak suka formalitas mulai berjalan di RCTI. Pehobi tenis ini tak tabu bercanda dengan anak buahnya.


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=253

 

mereka yang layak ditiru

Mereka yang Layak Ditiru
Kamis, 08 Januari 2004
Oleh : Firdanianty

Beberapa pengusaha layak mendapat sorotan. Selain inovatif, mereka juga sering melahirkan gagasan bisnis menarik. Ada pula yang baru tumbuh dan langsung berhasil. Apa kunci sukses mereka?

Ketidaksengajaan justru sering mendatangkan berkah. Tak percaya? Sejumlah orang pernah membuktikannya. Sebut saja, Freddy Mudjianto. Pemilik PT Vilour Promo Indonesia ini tak pernah membayangkan, perusahaannya yang membidangi konveksi kaus berkembang seperti sekarang. Semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1980-an, ia cuma memasok kaus untuk kegiatan perpeloncoan di almamaternya. Bersama pacarnya, Esther Suryani -- kemudian jadi pasangan hidupnya -- ia memulai usaha kecil-kecilan dari rumah kontrakan yang terletak tak jauh dari kampusnya.

Modal awal Freddy membangun bisnis ini hanya Rp 6 juta, yang dikuras dari tabungan sendiri. Dari jumlah itu, ia nekat mengontrak rumah di Jalan Dipatiukur 76 A, Bandung, senilai Rp 1,6 juta untuk dua tahun. Selebihnya ia belikan dua mesin jahit, satu mesin potong, dan tiga mesin obras. Karyawannya hanya teman-teman yang bersedia membantu.

Dari sekadar melayani kebutuhan kampus, ia kemudian mencoba masuk ke sekolah-sekolah dengan menawarkan seragam olah raga. Tak disangka, di akhir 1980-an bisnisnya tumbuh pesat. Bukan cuma seragam kaus yang ditangani, tapi juga topi, tas dan jaket. Pelanggan pun meluas. Tak hanya di Bandung dan Jawa Barat, tapi juga kota-kota lain. Perusahaan-perusahaan besar -- seperti Telkom, Pos Indonesia, Good Year, P&G, Sosro dan Indomobil -- pun mulai memercayainya.

Pelan tapi pasti, bisnis Freddy melaju. Memasuki 1997, omset Vilour mencapai Rp 14 miliar. Di tahun itu pula namanya mulai mendunia. Ketika itu, ia diperkenalkan teman kuliahnya dengan pengusaha pakaian olah raga asal Italia, Plabitio Forlanini dan Moreno. Pemilik 27 jaringan supermarket di Italia itu memesan 22 ribu setel baju training Nike senilai Rp 2,2 miliar. Peluang itu langsung disambarnya. Untuk bisa memenuhi pesanan tepat waktu, Freddy tak mengerjakannya sendiri. Kemitraan dengan perusahaan konveksi lain yang ia bina sejak awal merintis usaha, membantunya makin berkembang.

 (swa)
URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=169

 

Kisah Sukses CEO Zuhud

Kisah Sukses CEO Zuhud : Smith; Mockler; Wells Fargo; Abbott
Rabu, 21 Januari 2004
Oleh : swa

Untuk menjadi pemimpin hebat, zuhud adalah prasyarat utama. Inilah kisah sukses CEO yang tak begitu dikenal, tapi ternyata berprestasi lebih hebat ketimbang Jack Welch dan eksekutif selebriti lain.

Suatu siang pada 1971, Darwin E. Smith terpilih menjadi CEO Kimberly-Clark, perusahaan kertas tua, yang selama 20 tahun terakhir nilai sahamnya anjlok 36% dibanding pasar secara umum. Smith yang pengacara di Kimberly-Clark itu tak yakin ia pilihan tepat. Apalagi, seusai pemilihan, seorang direktur menghampiri dan mengingatkan bahwa ia sebenarnya tidak memenuhi beberapa prasyarat untuk jabatan eksekutif puncak tersebut.

Tetapi, sejarah mencatat, Smith bukan hanya mampu bertahan sebagai CEO selama 20 tahun. Lebih dari itu, dalam dua dasawarsa kepemimpinannya, lelaki santun tersebut berhasil mengibarkan Kimberly-Clark jadi perusahaan produk konsumer berbasis kertas yang memberikan return saham kumulatif 4,1 kali lipat rata-rata pasar ? mengalahkan baik pesaing lama (Scott Paper) maupun baru (Procter & Gamble), bahkan lebih tinggi tinggi ketimbang kampiun industri seperti Coca-Cola, Hewlett-Packard, 3M, dan General Electric.

?Kinerja yang mengesankan,? tulis Jim Collins dalam bukunya yang laris, Good to Great. ?Salah satu contoh terbaik dari sukses membawa perusahaan yang bagus menjadi perusahaan yang hebat, pada abad ke-20.?

Kendati demikian, tak banyak orang ? bahkan dari kalangan pemerhati sejarah manajemen dan korporasi ? yang tahu siapa itu Darwin Smith. Musababnya? Mungkin karena Smith sendiri lebih suka tetap tak dikenal. Ia lebih suka bergaul dengan penebang kayu dan menghabiskan liburannya dengan berkeliling naik traktor di tanah pertaniannya Wisconsin ketimbang melobi kalangan pers. Tak heran kalau namanya tak pernah berkibar sebagai selebriti, apalagi pahlawan.

Ketika seorang wartawan bertanya tentang gaya manajemennya, Smith yang berpenampilan sederhana dengan jas usang dari J.C. Penney ? department store kelas menengah bawah ? cuma menatap bingung dari balik kaca matanya yang tebal. Setelah terdiam beberapa lama, baru dari mulutnya keluar jawaban singkat: ?Eksentrik.?

Smith memang sangat pemalu dan rendah hati. Tetapi, bukan berarti ia lembek. Lahir dari keluarga petani miskin, siang hari Smith muda harus bekerja di International Harvester agar bisa kuliah malam di Indiana University. Suatu hari terpotong. Dan, ceritanya, ia tetap masuk kuliah malam harinya, lalu masuk kerja lagi keesokan harinya. Hebatnya lagi, walau kuliah sambil kerja full time, Smith diterima di salah satu program pascasarjana ilmu hukum paling bergengsi di dunia: Harvard Law School.

Belakangan, hanya dua bulan menduduki kursi CEO, Smith didiagnosis menderita kanker hidung dan tenggorokan, dan diramalkan tak akan bertahan hidup sampai setahun. Ia memberi tahu Dewan Direksi tetapi meyakinkan mereka, ?Aku belum mati dan tak berencana mati dalam waktu dekat.?

Smith membuktikan ucapannya. Ia memenuhi seluruh jadwal kerjanya yang ketat, walau setiap akhir pekan harus melakukan perjalanan dari Wisconsin ke Houston, Texas, untuk radioterapi dan hidup sampai 25 tahun kemudian ? sebagian besar sebagai CEO. Yang lebih hebat lagi, ia menunjukkan kegigihan yang sama ketika mengibarkan kembali Kimberly-Clark yang terpuruk, terutama ketika menuntaskan keputusan paling dramatis dalam sejarah perusahaan kertas tersebut: Melego pabrik kertas yang merupakan sumber utama pendapatan mereka.

Tak lama setelah menduduki kursi CEO, Smith dan timnya menyimpulkan bahwa bisnis inti tradisional mereka ? coated paper ? tak bisa diandalkan lagi. Matematika bisnisnya jelek dan daya saingnya lemah. Di sisi lain, mereka melihat, kalau Kimberly-Clark berani terjun ke industri konsumer produk kertas, pesaing kelas dunia seperti P&G akan memaksa mereka untuk besar atau, sebaliknya, hancur.

Maka, seperti laksamana yang membakar habis kapalnya setelah pendaratan ? sehingga tinggal punya dua pilihan: Menang atau mati ? Smith mengumumkan keputusan manajemen buat melepas pabrik kertas mereka di Kimberley, Wisconsin. Selanjutnya mereka akan fokus ke bisnis konsumer dan menginvestasikan seluruh sumber daya buat membangun merek seperti Huggies dan Kleenex.

Scott Paper mengayun strategi yang berbeda buat mengatasi masalah yang sama. Pesaing langsung Kimberley-Clark ini membajak eksekutif bernama Al Dunlap buat menduduki kursi CEO. Dunlap melakukan kebalikan dari apa yang dilakukan Smith. Ia bekoar kepada siapa pun yang mau mendengarkan tentang apa yang bakal ia capai.

Dalam wawancara dengan BusinessWeek sekitar 19 bulan sebagai eksekutif puncak Scott Paper, misalnya, Dunlap menepuk dada, ?Kisah Scott (Paper) bakal tercatat di sejarah bisnis Amerika sebagai salah satu turnaround tersukses dan tercepat yang pernah ada, membuat turnaround lain terlihat kecil.?

Banyak yang mengelu-elukan Dunlap sebagai jenius. Sebaliknya, kalangan media massa bisnis menilai langkah Smith sebagai kebodohan besar dan para analis Wall Street menurunkan grade saham Kimberly-Clark. Tetapi, Smith jalan terus.

Hasilnya? BusinessWeek mencatat, Dunlap pribadi meraup US0 juta untuk masa kerjanya yang 603 hari ? atau rata-rata US5 ribu per hari ? yang terutama berasal dari pemangkasan karyawan, pemotongan anggaran R&D sampai 50%, dan memaksakan pertumbuhan semu untuk menyiapkan penjualan aset. Belakangan, ia bahkan meluncurkan buku yang menyombongkan julukannya sebagai Rambo in Pinstripes.

?I love Rambo,? tulis Dunlap. ?Inilah lelaki dengan peluang nol besar untuk sukses tapi selalu menang. Rambo terjun ke segala situasi tanpa kemungkinan selamat, siap untuk hancur. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya ia berhasil, ia mampu mengalahkan semua orang jahat. Ia menciptakan damai dari puing-puing perang. Itulah yang aku lakukan juga.?

Sementara itu, pelahan namun pasti, Kimberley-Clark mulai lepas landas. Produk mereka, seperti Kleenex, mendominasi pasar sampai-sampai menjadi sebutan umum untuk kategori produknya. Dan, 25 tahun setelah Smith mengayun strategi radikal, Kimberley-Clark bukan saja mampu mengalahkan P&G dalam enam dari delapan kategori produk, melainkan juga mencaplok Scott Paper. Pada masa pensiun, Smith cuma mengenang prestasinya yang luar biasa tersebut dengan kalimat sederhana, ?Aku tidak pernah berhenti berusaha untuk qualified dalam pekerjaan CEO??

Kendati demikian, sebagai manusia biasa, bisa dipastikan Smith bukanlah tanpa ambisi. Ia bahkan boleh dibilang sangat ambisius. Bedanya dari Dunlap ialah: Ambisi Smith disalurkan untuk tujuan bersama yang lebih besar, yaitu buat membangun perusahaan ? bukan dirinya sendiri ? agar jadi yang terhebat. Collins menyebut CEO seperti Smith ini sebagai ?Level 5 Executive?, yaitu eksekutif yang mampu membangun kehebatan yang langgeng melalui campuran yang tampak paradoks dari kerendahhatian pribadi dan tekad profesional. Semua perusahaan yang mampu mengibarkan diri dari sekadar bagus menjadi hebat, masih menurut mantan dosen Stanford University Graduate School of Business ini, memiliki CEO yang dalam konteks sufi disebut zuhud itu.

Contoh lain ialah Colman Mockler, CEO Gillete periode 1975 sampai 1991. Pada era Mockler, Gillete menghadapi tiga serangan yang mengancam peluang mereka untuk berkibar menjadi perusahaan hebat. Dua serangan di antaranya ialah tawaran hostile takeover dari Revlon yang dilancarkan Ronald Perelman ? corporate raider yang terkenal suka menyempal-nyempal perusahaan untuk dilego buat melunasi junk bonds dan membiayai lebih banyak penjarahan terhadap perusahaan lain. Serangan ketiga oleh Coniston Partners, kelompok investasi yang telah menguasai 5,9% saham Gillete dan melancarkan perang proksi untuk mengudeta manajemen dan berharap dapat menjual perusahaan ke penawar tertinggi.

Kalau waktu itu Gillete menerima tawaran Perelman, pemegang saham akan menerima gain 44% atau keuntungan jangka pendek US,3 miliar (untuk 116 juta saham yang beredar), termasuk Mockler sendiri yang akan meraup jutaan dollar. Tetapi lelaki pendiam yang santun ini tidak silau oleh kekayaan yang begitu gampang. Tanpa banyak bicara ia memimpin barisan manajemen melakukan perlawanan sengit. Ia dan seluruh manajemen eksekutif senior Gillete bekerja keras menghubungi ribuan investor perorangan ? satu demi satu ? dan, pada akhirnya, menang perang.

Mockler dan para eksekutif Gillete itu berjuang demi mempertahankan kedudukan sendiri dengan mengorbankan kepentingan para pemegang saham?

Justru sebaliknya. Mereka tahu betul, perusahaan sedang mempertaruhkan masa depannya pada investasi raksasa dalam sistem canggih berteknologi baru. Kalau pencaplokan itu berhasil, proyek ini akan ditinggalkan dan tak akan lahir yang namanya Sensor, Sensor for Woman, dan Match 3 ? sehingga jutaan (calon) pelanggan harus menggunakan cara bercukur yang kuno dan menyakitkan.

Kecuali itu, ketika perang proksi berlangsung, Sensor telah menjanjikan future profit yang tak terefleksikan dalam harga yang ditawarkan. Maklum, proyek Sensor sangat dirahasiakan. Dengan suksesnya Sensor, Mockler dan jajaran manajemen yakin, future value dari saham Gillete bakal jauh di atas harga yang ditawarkan. Artinya, kalau menyerah, hanya pemegang saham jangka pendek yang akan happy dan, karena itu, tak bertanggung jawab atas kepentingan pemegang saham jangka panjang.

Apa yang Mockler lakukan tak salah. Kalau pada 31 Oktober 1986 mereka menerima 44% harga premium yang ditawarkan Perelman dan menanam seluruh uang tersebut ke dalam indeks harga saham rata-rata selama 10 tahun, jumlah yang mereka terima tiga kali lebih jelek dibanding kalau tetap dalam bentuk saham perusahaan Gillete yang dipimpin Mockler.

Sayangnya, Mockler sendiri tak dapat sepenuhnya menikmati buah upayanya. Pada 25 Januari 1991, orang-orang Gillete menerima kopi sampul depan Forbes yang akan terbit. Di situ terpampang kolase artis yang menggambarkan Mockler berdiri di puncak gunung memegang produk Gillete ukuran raksasa. Sang CEO yang telah beberapa kali menolak untuk difoto agak terheran dengan posenya yang bak Conan sang Penakluk, di majalah itu. Ketika berjalan masuk ke ruang kantornya hanya beberapa menit setelah melihat pengakuan publik terhadap upayanya yang luar biasa gigih selama 16 tahun, Mockler terjatuh ke lantai dan meninggal karena serangan jantung.

Yang masih jadi pertanyaan: Mengapa jajaran manajemen bersedia mendukung sepenuh hati kebijakan sang CEO yang tak gampang dijalankan itu? Bagi para eksekutif Gillete, misalnya, bukankah kalau menerima tawaran Perelman hidup jadi lebih nyaman ? bisa pensiun dengan mewah?

Hanya concern terhadap kemaslahatan perusahaan, CEO seperti Mockler dan Level 5 Executive lain selalu memilih orang terbaik dalam jajaran manajemennya. Dan, tanpa pretensi pintar sendiri, mereka menaruh terlebih dulu orang tersebut pada posisi yang tepat ? serta mengeluarkan orang yang tidak tepat ditaruh di posisi mana pun ? sebelum menentukan hendak dibawa ke mana perahu bisnis yang dinakhodainya.

Strategi menentukan terlebih dulu 'siapa? ketimbang ?apa? ini memiliki setidaknya tiga kelebihan. Yang pertama: lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Bayangkan jika visi perusahaan telah ditetapkan terlebih dahulu, lalu di tengah jalan terjadi perubahan rencana, pasti akan muncul masalah (karena orang yang ditempatkan belum tentu tepat lagi untuk visi dan misi yang baru). Dalam hal menaruh orang yang tepat terlebih dahulu, mereka tak akan keberatan kalau perahu bisnis yang ditumpangi mengubah haluan. Maklum, mereka setidak-tidaknya sudah happy dengan tim yang terbentuk.

Yang kedua: kalau bisa mendapatkan orang yang tepat, masalah yang menyangkut cara memotivasi dan mengelola mereka tak perlu dikhawatirkan. Kelompok orang yang tepat tak perlu dimonitor kelewat ketat atau didorong-dorong. Mereka sudah termotivasi dari dalam untuk menghasilkan yang terbaik dan jadi bagian dari penciptaan sesuatu yang besar. Yang ketiga: kalau orangnya saja sudah salah, tak peduli sang CEO sudah mendapatkan visi yang benar, hasil yang hebat tak akan tercapai. Buat mencapai visi yang hebat, selalu diperlukan orang yang hebat.

Contoh paling jelas ialah kasus Wells Fargo. Pada awal 1970-an, CEO Dick Cooley melihat bahwa industri perbankan akan dilanda perubahan besar, tetapi ia tak mau berspekulasi akan perubahan yang bakal terjadi tersebut. Maka ketimbang mencoba menyusun strategi untuk perubahan, Cooley dan chairman Ernie Arbuckle memfokuskan diri pada upaya menarik tenaga terbaik yang bisa direkrut ? tanpa melihat latar belakang pendidikannya dan, sering, tanpa tahu pekerjaan spesifik yang akan diberikan kepada orang tersebut. Bahkan, menurut Collins, salah satu perusahaan yang mampu mengibarkan diri menjadi hebat tercatat merekrut orang yang dua kali tertawan pada Perang Dunia II dan dua kali berhasil meloloskan diri!

?Itulah cara terbaik membangun masa depan,? Cooley memberikan alasan mengapa ia mengumpulkan bakat terbaik yang ada. ?Kalau aku tidak cukup pintar melihat perubahan yang bakal datang, mereka akan mampu. Mereka juga akan cukup fleksibel menghadapi perubahan tersebut.?

Cooley benar. Ketika datang perubahan yang tak terduga akibat deregulasi, tak ada mampu menghadapinya sebaik Wells Fargo. Ketika sektor perbankan terjun bebas 59% dibanding pasar secara umum, Wells Fargo mampu mengalahkan pasar tiga kali lipat lebih. Carl Reichardt yang menjadi CEO pada 1983 mengakui bahwa sukses ini berkat orang di sekelilingnya yang sebagian besar merupakan warisan Cooley.

?Mereka itu,? tak kurang dari seorang Warren Buffett memuji, ?adalah tim terbaik.? Bagaimana tidak, hampir semua anggota tim yang bergabung dengan Wells Fargo pada era Cooley-Reichardt menjadi CEO perusahaan besar lain. Bill Aldinger menjadi CEO Household Finance, Jack Grundhofer jadi CEO U.S. Bancorp, Frank Newman jadi CEO Bankers Trust, Richard Rosenberg jadi CEO Bank of America, Bob Joss jadi CEO Westpac Banking (salah satu bank terbesar Australia) dan, belakangan, dekan Graduate School of Business pada Stanford University.

Mendapatkan dukungan solid tim manajemen yang kompeten, seorang Level 5 Executive berani menghadapi kenyataan ? bagaimana pun pahitnya. Ketika pada 1960-an terseok di pasar, beberapa rantai toko grosir tradisional mulai melakukan eksperimen dengan konsep superstore, termasuk Kroger dan Atlantic and Pacific Tea Company (A&P). Waktu itu, A&P yang merupakan raksasa ritel terbesar di dunia meluncurkan The Golden Key.

Keduanya mendapatkan kenyataan yang sama: Masyarakat lebih menyukai superstore ketimbang rantai toko tradisional yang merupakan bisnis inti mereka. A&P tak menyukai temuan ini dan menutup The Golden Key. Mereka tetap mempertahankan konsep rantai toko tradisional yang telah membawa A&P ke puncak selama lebih dari seabad dengan cara apa pun, terutama pemangkasan harga yang agresif. Tetapi, karena yang diinginkan masyarakat pelanggan ialah kenyamanan dan layanan yang lebih baik, A&P akhirnya bangkrut.

Sebaliknya, manajemen Kroger yang dikomandani CEO Jim Herring berani pro-aktif terhadap kenyataan lapangan: Toko superkombinasi merupakan masa depan dan, agar bisa bertahan, harus menjadi nomer satu atau nomer dua di setiap pasar. Maka, mulai 1970 mereka menghapus, mengubah, atau mengganti setiap toko dan hengkang dari setiap kawasan yang tak sesuai dengan realitas baru tersebut. Bisnis yang telah berakar selama puluhan tahun diubah sama sekali ? toko demi toko, blok demi blok, kota demi kota, negara bagian demi negara bagian. Dengan demikian, pada awal 1990-an Kroger telah membangun seluruh sistem dari model bisnis yang sama sekali dan berhasil mengibarkan diri menjadi rantai pertokoan nomer satu di Amerika Serikat, setidak-tidaknya sampai 1999.

Pada beberapa perusahaan, perubahan yang harus dilakukan untuk mengibarkan diri begitu besar sampai harus keluar dari kepompong kemapanan yang telah mendarah daging. Kasus Kroger atau Wells Fargo barulah contoh kecil. Di Wells Fargo, misalnya, perubahan orientasi yang harus dilakukan cuma kerelaan untuk ?hanya? jadi bank regional di kawasan Pantai Barat Amerika (bukan bank global seperti Citicorp) dan memperlakukan diri sebagai ?bisnis? (yang harus memperhitungkan betul faktor biaya) ketimbang ?bank konvensional? (dengan gaya hidup bankirnya cenderung bermewah-mewah).

Bandingkan dengan yang harus dilakukan Abbott Laboratories. Sepanjang sejarah bisnisnya berkiprah di industri farmasi, pada 1967 tiba-tiba Abbott harus menerima kenyataan bahwa mereka tak mungkin jadi perusahaan farmasi yang terbaik. Kalau harus bersaing dengan Merck yang memiliki R&D begitu maju, Abbott yang sejak lama hanya bisa mengandalkan produk antibiotika eritromisin ibarat kesebelasan kelas kelurahan yang mesti melawan kesebelasan nasional Brazil. Satu-satunya peluang untuk berkibar, CEO George Cain sadar, adalah masuk ke produk yang memberikan kontribusi terhadap perawatan kesehatan yang cost-effective.

Waktu itu, Abbott telah bereksperimen dengan produk nutrisi rumah sakit (yang dirancang buat membantu pasien memulihkan kekuatan dengan cepat setelah operasi) dan peralatan diagnostik (salah satu cara utama menurunkan biaya perawatan kesehatan ialah melalui diagnosis yang benar). Maka, walau bisnis inti mereka, farmasi, memberikan 99% pendapatan, Abbott dengan berani ? dan konsisten ? mengubah visi bisnisnya.

Seperti menggerakkan roda besar, Abbott melakukannya satu putaran demi satu putaran, terus-menerus sampai sepuluh, seratus, seribu putaran. Pada putaran pertama, roda bisnis mereka jelas tak bisa bergerak kencang. Tetapi, semua jadi semakin gampang, gerak bisnis kian lancar, dengan terbentuknya momentum yang ikut mendorong putaran berikutnya.

Setiap tahun Abbott mengumumkan target pertumbuhan, katakanlah 15%, kepada kalangan Wall Street. Pada saat yang sama mereka menetapkan target internal yang jauh lebih tinggi, misalnya 25% atau 30%. Sementara itu, manajemen juga minta R&D membuat daftar proyek bisnis yang belum mendapatkan dana yang mereka sebut sebagai Blue Plans. Nah, menjelang akhir tahun, Abbott akan menampilkan angka pertumbuhan yang melebihi ekspektasi analis, yaitu lebih dari 15%, tetapi masih lebih rendah ketimbang pertumbuhan aktual. Beda antara angka yang ?membuat para analis happy? itu dan pertumbuhan sebenarnya disalurkan ke Blue Plans.

Dengan cara ini Abbott dapat mengelola tekanan jangka pendek dari Wall Street sekaligus secara sistematik melakukan investasi untuk masa depan. Hasilnya: memasuki 1974 nilai saham Abbott meroket sehingga pada 2000 mengalahkan indeks harga saham rata-rata sampai 4,5 kali, bahkan mengalahkan kinerja kampiun industri farmasi Merck dan Pfizer. Sebagai pembanding, perusahaan sejenis yang sebelumnya memiliki kinerja mirip tetapi ngotot bertahan di bisnis farmasi yang tak dapat diandalkan lagi, Upjohn, nilai sahamnya terpuruk 89% di bawah Abbott sebelum akhirnya dicaplok oleh Pharmacia pada 1995.

Untuk memantau kemajuan kinerjanya, perusahaan yang berupaya mengibarkan diri menjadi hebat harus memiliki denominator ekonomi yang jelas. Abbott, misalnya, mengadopsi parameter laba/karyawan, bukan lagi laba/lini produk seperti ketika masih berkiprah di industri farmasi sebagai denominator ekonomi. Gillete memakai parameter laba/pelanggan bukan lagi laba/divisi. Kimberley-Clark yang memosisikan diri sebagai perusahaan konsumer beralih ke laba/consumer brand dari laba/aset tetap (kilang kertas).

Demikian juga Kroger yang tak lagi menggunakan parameter laba/toko melainkan laba/populasi lokal untuk menunjukkan banyaknya orang yang berbelanja dan jumlah yang dibelanjakan dalam suatu populasi di kawasan tertentu. Perusahaan ritel lain, Walgreens, memilih parameter laba/pelanggan sebagai pengganti laba/toko. Bersenjatakan data denominator ekonomi yang tepercaya, Walgreens berani menjenuhi pasar tertentu di San Francisco dengan kepadatan sampai sembilan toko dalam radius satu mil. Penjenuhan ini meningkatkan skala ekonomi lokal yang menghasilkan lebih banyak dana tunai untuk membangun lebih banyak toko di pasar tersebut yang pada gilirannya akan menarik lebih banyak pelanggan.

Buat melayani pelanggan yang membanjir itu ? sekaligus menarik lebih banyak pelanggan baru ? Walgreens tak segan menggelontorkan dana untuk mengembangkan teknologi canggih. Tetapi, seperti Level 5 Executive lain, CEO Charles R. Walgreen III sadar betul bahwa teknologi itu hanya akselerator, bukan kreator, momentum. Ketika drugstore.com muncul pada akhir 1990-an, misalnya, ia memilih untuk diam dulu: berpikir. Padahal, waktu itu tekanan pasar terhadap Walgreens sangat berat.

Berbulan-bulan drugstore.com masuk bursa pada 28 Juli 1999, saham Walgreens anjlok 40%. ?Mereka kelewat tua dan kaku untuk dunia Internet. Mereka akan tertinggal,? ujar seorang eksekutif bisnis terkait Internet tentang Walgreens.

Tanpa merasa perlu terburu-buru, Walgreens bereksperimen dengan situs Web seraya terus melakukan debat intensif tentang pengaruhnya terhadap konsep bisnis mereka. ?Bagaimana Internet bisa nyambung dengan konsep kenyamanan berbelanja? Bagaimana kami bisa mengaitkan itu dengan denominator arus kas/kunjungan pelanggan? Bagaimana kami bisa memanfatkan Internet buat meningkatkan apa yang sudah terbukti kami lakukan lebih baik ketimbang perusahan lain dan dengan cara yang menyenangkan??

Setelah berhasil mengaitkan Internet secara langsung dengan model inventori-dan-distribusi mereka yang canggih dan, akhirnya, dengan konsep convenient store, baru Walgreens mulai bersicepat. Dengan sistem itu, pelanggan bisa menulis resep secara online, datang ke fasilitas drive through Walgreens di mana saja (bahkan ketika sedang bepergian ke luar negara bagian), lalu didapatlah obat yang diresepkan tersebut. Atau, kalau, mau, bisa juga obat tadi diantar ke rumah.

Semua itu dilakukan dengan tenang dan terencana, tanpa upacara yang gegap gempita. Tetapi, begitu sambutan pelanggan terlihat bagus, Walgreens langsung lari kencang ?menggelontorkan banyak dana buat membangun sistem tercanggih dan terancang bagus laiknya perusahaan dotcom murni. Hasilnya: Pada 2000, layanan Walgreens.com sudah secanggih Amazon.com (pelopor raja e-commerce), mendongkrak nilai saham mereka menjadi hampir dua kali lipat dalam tempo setahun (sejak nilai terendah 1999). Sebaliknya, drugstore.com yang terus saja berdarah keuangannya semakin kehilangan pamor dan mendekat ke jurang kebangkrutan.

Kehebatan lain seorang Level 5 Executive adalah dalam mencari penggantinya. Ketika David Maxwell menjadi CEO Fannie Mae pada 1981, BUMN Amerika Serikat yang menangani hipotek (juga kredit pemilikan rumah, KPR) ini merugi US juta/hari sehingga US56 miliar set mereka dalam bentuk pinjaman terancam perdarahan hebat. Dengan mengarahkannya menjadi perusahaan yang terbaik dalam menilai risiko hipotek, Maxwell berhasil mengibarkan Fannie Mae menjadi perusahaan Wall Street dengan earning US jut/hari dan kinerja saham yang 3,8 kali lebih baik ketimbang indeks harga saham rata-rata.

Maxwell mengajukan pensiun ketika ia masih berjaya tetapi khawatir akan membuat kinerja Fannie Mae menurun kalau bercokol kelewat lama. Dengan legawa, ia menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada eksekutif yang sama andalnya: Jim Johnson. Lalu, ketika sukses yang dibukukan membuat Fannie Mae harus menghadapi orang di Washington yang mempertanyakan paket pensiunnya yang kelewat besar (yang sebetulnya wajar, mengingat peningkatan kinerja perusahaan yang luar biasa), Maxwell menginstruksikan kepada Johnson untuk tidak membayarkan sisanya, US,5 juta, dan memasukkan uang haknya tersebut ke Yayasan Fannie Mae untuk membantu pengadaan rumah bagi kalangan kurang mampu.

Tentu saja tak mudah menjadi Level 5 Executive, seperti juga tak mudah menjadi zuhud. Bahkan di negara yang terkenal dengan profesionalnya yang brilian dan tradisi charity-nya yang kental, Collins hanya menemukan CEO dari 11 perusahaan yang layak disebut sebagai Level 5 Executive. Padahal, ketika melakukan riset untuk menulis Good to Great itu, Collins dan orangnya yang tergabung dalam management research laboratory di Boulder, Colorado, membedah 1.435 perusahaan yang muncul dalam majalah Fortune sejak 1965.

Tetapi, kalau menjadi Level 5 Executive tidak mudah, bukan tak mungkin bagi Anda, para CEO di negeri tercinta ini, untuk paling tidak membantu menumbuhkan atau mencari pemimpin yang luar biasa tersebut.

Prih Sarnianto
Riset: Siti Sumariyati


Boks:
Perusahaan yang berhasil mengibarkan diri menjadi yang terhebat di bidangnya ? dan mampu mempertahankan kehebatan tersebut dalam tempo cukup lama ? ternyata memiliki profil pemimpin yang mirip: Rendah hati tetapi memiliki tekad profesional yang besar. Orang yang zuhud ini, lebih seperti Abraham Lincoln dan Socrates ketimbang Jenderal George Patton dan Julius Caesar, juga memiliki strategi yang hampir sama:
? Memilih siapa? baru apa. Kebanyakan dari kita menduga bahwa para pemimpin hebat akan memulai sesuatu dari menetapkan visi atau strategi baru. Ternyata tidak, mereka memilih dulu orang yang tepat dan menaruhnya di posisi yang tepat (serta membuang orang yang tidak tepat) ? baru menentukan arah yang dituju.
? Berani menghadapi kenyataan terpahit (dan tak pernah kehilangan harapan). Mereka yakin bahwa pada akhirnya akan sukses, tak peduli berapa besar kesulitan yang menghadang dan, pada saat yang sama, berani menghadapi kenyataan terpahit, apa pun itu.
? Konsep yang terfokus. Hanya karena sesuatu telah menjadi bisnis inti yang telah dilakukan selama betahun-tahun bukan berarti perusahaan kita bisa menjadi yang terbaik dalam bisnis tersebut. Dan kalau tak dapat menjadi yang terbaik dalam bisnis inti, berarti bisnis tersebut tak dapat jadi basis untuk mengibarkan diri sebagai perusahaan hebat. Temukan visi baru, yang menempatkan perusahaan jadi terhebat di bisnis tertentu, punya nilai ekonomi yang cukup tinggi, dan kita senang melakukannya.
? Budaya disiplin. Semua perusahaan memiliki budaya, beberapa memiliki displin, tetapi hanya segelintir yang punya budaya disiplin. Jika memiliki sumber daya manusia (SDM) yang disiplin, tak diperlukan hirarki. Kalau punya pemikiran yang disiplin, tak diperlukan birokrasi. Dengan adanya diciplined action, tak diperlukan kontrol yang berlebihan. Kombinasikan budaya disiplin tersebut dengan etos kewirusahaan, kita akan memiliki ramuan ajaib untuk kinerja yang hebat.
? Memanfaatkan teknologi sebagai akselerator. Perusahaan yang hebat tak menggunakan teknologi sebagai pemicu transformasi. Tetapi, mereka juga berani menjadi pionir penggunaan teknologi yang dipilih secara hati-hati.
? Selangkah demi selangkah. Mereka yang meluncurkan program perubahan yang revolusioner dan restrukturisasi yang cepat hampir bisa dipastikan bakal gagal. Sehebat apa pun hasil akhir yang dicapai, tak pernah kinerja tersebut diraih dalam sekali lompatan besar. Semua berjalan selangkah demi selangkah ? tak ada momen keajaiban ? sampai akhirnya terbentuk momentum yang memungkinkan perusahaan untuk tinggal landas.

 

Dari Karyawan Menjadi Rekanan Toyota

Kisah Sukses Pengusaha UKM, Nur Dahyar
Dari Karyawan Menjadi Rekanan Toyota

Dari sinarharapan

Oleh
Sigit Wibowo

Jakarta—Siapa yang membayangkan orang yang dulunya bekerja di bagian produksi pabrik Toyota Astra Motor (TAM) bisa mengubah nasibnya menjadi rekanan yang memasok komponen pada perusahaan otomotif terbesar di Indonesia tersebut?

Mungkin ada, tidak tidak terlalu banyak. Dan salah satunya adalah Nur Dahyar. Nur—demikian ia biasa dipanggil-membuka usaha pallet setelah “mencuri” ilmu di TAM selama 9 tahun. Saat ini pallet buatan perusahaannya tidak saja digunakan memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi juga diekspor ke luar negeri. “Sejak awal saya memang mempunyai rencana menjadi pengusaha,” ujarnya.
Pada saat bekerja di Toyota tahun 1978 ia hanya berbekal ijazah SLTP. Namun keinginannya menjadi seorang pengusaha tidak pernah mati, sembari bekerja di Toyota pada malam harinya ia bersekolah SMA hingga lulus Akademi D3 komputer. Ketika bekerja di Toyota, ia pun bertekat menguasai semua bidang sehingga ia minta kepada atasannya supaya di-rolling dari satu bidang ke bidang lain.
Maka sejumlah bidang di industri otomotif ini sudah ia jalani. Mulai dari bidang pengelasan, press, pengepakan, pergudangan dan lainnya. Setelah ia memperoleh cukup ilmu akhirnya ia keluar untuk mendirikan perusahaan kecil-kecilan.
Secara kebetulan ketika di Toyota ia kenal dengan Setiadi, seorang teknisi mesin yang bekerja di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Hubungan pertemanan ini berlanjut menjadi hubungan bisnis. Nur Dahyar lalu mendirikan perusahaan yang diberi nama PT Nuansa Raya Dinamika (NRD) tahun 1997.
Modal awal pengembangan usaha NRD berasal dari pinjaman BNI sebesar Rp 50 juta. Pertama kali memperoleh order dari Pelindo lewat jasa temannya tersebut. Proyek yang ditanganinya adalah pembuatan 9 pemancar lampu (tower) senilai Rp 135 juta yang dilaksanakan dalam beberapa periode.
“Pada bulan pertama NRD menyelesaikan order sebesar Rp 15 juta tetapi biaya yang dikeluarkan sebanyak Rp 25 juta,” ujarnya. Hal ini wajar mengingat NRD harus menginvestasikan mesin dan peralatan lain. Setelah memiliki prospek yang baik koleganya tersebut mengajukan pensiun dini agar bisa fokus dalam mengembangkan perusahaan tersebut. Pada mulanya 100 persen saham dimiliki Nur Dahyar tetapi setelah Setiadi bergabung komposisi kepemilikan saham fity-fifty.
“Kami membina hubungan berdasarkan prinsip saling percaya, walaupun sering kali beda pendapat tetapi sampai sekarang masih bisa bertahan,” kata Setiadi. Jika Dahyar lebih menguasai proses produksi maka Setiadi menangani yang berkaitan masalah keuangan. Pembagian tugas yang jelas menyebabkan masing-masing orang tahu apa yang harus dilakukan dan bidang apa yang harus dikerjakan.

Beralih ke Besi/baja
Semula NRD memproduksi pallet yang terbuat dari kayu tetapi mulai tahun 2001 beralih dengan bahan baku dari besi/baja. Sejak tahun 2002 pallet buatan NRD semua berasal dai besi/baja. Hal ini disebabkan negara seperti Malaysia dan Australia sudah tidak mau menerima pallet yang terbuat dari kayu karena menciptakan masalah lingkungan.
Saat ini produk yang dihasilkan NRD tidak saja pallet baja tetapi juga peralatan konstruksi baja dan mesin-mesin sederhana. NRD telah berkembang menjadi tiga pabrik kecil yang menempati wilayah seluas 2560 meter persegi di daerah Semper. 55 persen produksi NRD untuk memasok kebutuhan Toyota sedangkan 45 persen kepada pelanggan lain. Tercatat beberapa perusahaan seperti PT Maersk Line, SCI, American Line, Mulia Keramik mengguanakan produk NRD.
Saat ini beberapa bank telah menyalurkan kredit pada UKM ini yakni Bank Niaga, Bank Permata dan Citibank. “Sekarang kredit yang bisa dikucurkan bisa mencapai Rp 1 miliar per bulan seiring dengan perkembangan perusahaan,” kata Setiadi. Ia merasa bersyukur karena omzet perusahaan yang semula hanya dibawah Rp 100 juta sekarang sudah mencapai Rp 14 miliar.
Setiadi memperkirakan omset perusahaan di akhir tahun bisa mencapai Rp 20 miliar. Meskipun masih mengandalkan produksi pallet baja tetapi produk-produk lain non-pallet akan ditingkatkan. Pada 2005-2007, NRD ingin masuk pada pengembangan produk komponen mesin. Rencananya 2007-2010 investasi peralatan dan mesin-mesin sudah bisa dilakukan dan akhir tahun 2010 sudah bisa berproduksi.
Khusus bahan baku perusahaannya dipasok oleh PT Krakatau Steel melalui 5 distributor dan pipa dari perusahaan Bakrie. Sejauh ini pasokan lancar sehingga produksi tidak terganggu. Namun penguatan dolar terhadap rupiah akhir-akhir ini menyebabkan kekhawatiran karena dampaknya sangat buruk bagi usahanya.
Sementara untuk jumlah karyawan terus meningkat dari tahun 1997 yang hanya Nur Dahyar dengan anggota keluarga saja. Tahun 1998 berjumlah 7 orang sekarang sudah berkembang menjadi 122 orang. Kebanyakan atau sekitar 78 orang merupakan lulusan smu, 3 dari akedemi, 6 orang univeritas dan sisanya pendidikan SD dan SMP.
Jepang ingin masuk
Setelah melihat prospek bisnis yang baik maka ancaman terbesar yang dihadapi perusahaan adalah rencana perusahaan Jepang melakukan investasi di sektor ini. Hal inilah yang dikhawatirkan karena bisa mengancam eksistensi NRD. Namun kebijakan Toyota yang tetap ingin mempertahankan partner lokal menyebabkan mereka belum bisa masuk.
Tetapi indikasi perusahaan Jepang ingin masuk ke sektor ini sudah ada. “Kami meminta pemerintah memperhatikan ini sebab secara modal dan teknologi mereka pasti tidak kalah,” kata Dahyar.
Sebelumnya tahun 2004 NRD juga terancam setelah produk-produk bajakan dengan harga murah dari Cina diselundupkan melalui berbagai pelabuhan. “Modusnya mereka bekerja sama dengan beberapa orang aparat bea cukai untuk meloloskannya,” ujarnya

 

"Geisha" dari Baturaden

"Geisha" dari Baturaden dari p2kp
kusdar minto, 31 Oktober 2007, jam 13:08:29 ¡§DIREM¡¨ Geisha dari Baturaden.
Kusdarminto : Micro finance/credit Specialist.


Tempat wisata pegunungan di Jawa Tengah cukup banyak. Masing-masing mempunyai daya tarik tersendiri. Tempat wisata pegunungan tersebut antara lain : Bandungan, disebelah selatan Semarang, Baturaden, disebelah utara Purwokerto, Candi Gedongsongo disebelah barat Bandungan, Dieng disebelah utara Wonosobo, Tawangmangu, disebelah timur Solo, Kopeng disebelah timur laut Magelang dan Kaliurang di utara Yogyakarta

Baturaden merupakan salah satu pilihan untuk wisata pegunungan yang perlu dikunjungi.

Disamping pemandangan pegunungan yang indah, hawa yang segar dan sejuk serta jalan yang mulus untuk menuju kesana, Baturaden menawarkan banyak hal yang dapat menyegarkan kembali pikiran maupun fisik kita.
„« Di Baturaden terdapat pemandian air panas yang dikenal dengan ¡§pancuran tujuh¡¨, cukup banyak dikunjungi oleh wisatawan. Konon katanya air panas tersebut dapat menyembuhkan sakit encok, sakit kulit dll. Sayang, lokasi air panas tersebut cukup jauh apabila ditempuh dengan jalan kaki.
„« Hotelpun cukup banyak tersedia disini. Sejak dari hotel kelas melati yang taripnya rendah sampai dengan hotel bintang 4. Anda tinggal memilih sesuai selera anda serta tebalnya kantong anda. Bahkan ada kamar yang dindingnya terbuat seluruhnya dari cermin. Mengapa dinding kamar dibuat dari cermin, itu saya tidak tahu.
„« Bagi yang mempunyai hoby tanaman hias, di Baturaden tidak sulit untuk mendapatkannya, tapi harus pandai memilih, sebab yang dijajakan oleh pedagang asongan sebagian besar adalah ¡§palsu¡¨.
„« Bagi penggemar olahraga sodok menyodok (biliard dengan stick panjang) tidak perlu anda turun ke Purwokerto, di Baturaden juga tersedia.
„« Bagi yang suka nyanyi, daripada ikut Akademi Fantasi Indonesia (AFI) dan takut ter eliminasi karena jelas akan kalah dengan Ferry dari Medan, Mawar dari Bandung, Ve dari Surabaya, KIA dari Jakarta dan Dicky juga dari Jakarta, di Baturaden ada Karaoke yang cukup bagus.
„« Bagi lelaki yang ¡§lemah imannya¡¨ tetapi ¡§kuat iminnya¡¨ dan berkantong agak tebal akan kerasan di Baturaden. Sebab selain tersedia hotel, pemandangan alam yang indah dan pemandian air panas, juga tersedia banyak sekali ¡§penjaja kenikmatan¡¨ yang umurnya masih muda-muda yang konon katanya dibawah 20 tahun yang dapat dipesan sewaktu-waktu (seperti makanan cepat saji) melalui room boy hotel. Mereka juga menawarkan olahraga billiard tetapi dengan stick pendek. Kalau billiard stick panjang yang dimasukkan bolanya, billiard stick pendek yang dimasukkan justru sticknya. Perbedaan lain adalah : kalau billiard stick panjang lobangnya banyak (6 lobang) dan besar, bolanya 15 dan sulit memasukkan bolanya dalam lobang maka billiard stick pendek lobangnya cuma 1. Itupun sempit. Bolanya cuma 2. Yang aneh walaupun lobangnya sempit memasukkan stick malah mudah. ¡§ Sambil terpejam saja bisa masuk¡¨ begitu kilah yang sudah berpengalaman.
Pada umumnya, tempat wisata ¡§akan lebih menarik¡¨ (terutama bagi wisatawan) apabila ditempat tersebut ada ¡§selimut hidup¡¨ nya. Maklum kata mereka : ¡§di pegunungan kan dingin¡¨.

Bagi para ¡§pengusaha mikro¡¨ yang ada di Baturaden hal tersebut merupakan peluang usaha bagi mereka. Untuk ¡§meningkatkan daya tempur¡¨ mereka, ibu-ibu pengusaha mikro tahu persis apa yang mereka butuhkan. Ibu-ibu penjaja makanan keliling juga menyediakan dan menjajakan ¡§Susu Telur Madu Ginseng (STMG)¡¨ yang hangat setiap sore sampai malam dengan berkeliling ke losmen-losmen yang diprakirakan digunakan sebagai tempat untuk ¡§ajang pertempuran¡¨. ¡§Untuk meningkatkan vitalitas mas, biar lebih asyik¡¨ begitu kata mereka. Disamping STMG mereka menyediakan Kuku Bima, Irex (yang digunakan Datuk Maringgih yang sudah tua tapi dapat menjebol gawang) dan obat-obat lainnya yang diperkirakan dapat menambah vitalitas kaum pria.

Hal ini tidak terdapat di Kaliurang Yogya. Walaupun di Kaliurang tidak tersedia ¡§penghangat¡¨ semacam itu namun tidak berarti di Kaliurang tidak ada ¡§kegiatan pertempuran¡¨ seperti itu. Di Kaliurang, pelaku-pelakunya baik wanita maupun pria berasal dari luar Kaliurang, masih amatiran (belum professional) dan pada umumnya sudah datang berpasangan. Sebagian besar adalah pelajar dan mahasiswa. Penduduk Kaliurang cukup jeli untuk memanfatkan peluang pasar ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya rumah-rumah penduduk yang disulap menjadi ¡§penginapan¡¨ dengan tarip yang murah yang disediakan spesial untuk menjadi tempat ¡§ajang pertempuran¡¨ pasangan-pasangan yang datang yang pada umumnya ¡§koceknya tipis¡¨.

Di Kaliurang tidak ada hotel berbintang. Yang ada paling tinggi adalah hotel Melati, selebihnya adalah losmen atau penginapan yang taripnya sekitar Rp.25.000,- semalam.

Penjaja sarapan pagi.

Disamping adanya ¡§penjaja kenikmatan¡¨ yang cukup banyak, di Baturaden tersedia sarapan pagi yang murah yang dijajakan oleh ibu-ibu yang setiap pagi dengan setia mendatangi losmen-losmen. ¡§Sarapan, sarapan¡K..¡¨ begitu mereka menjajakan dagangannya.

Mereka menyediakan nasi hangat, dengan lauk (menu) yang rata-rata sama, yaitu oseng-oseng tahu dicampur taoge dan kacang panjang, tahu dan tempe goreng, telor ceplok dan ayam goreng yang diiris kecil-kecil. Dengan uang paling banyak Rp.5.000,- kita telah dapat menikmati sarapan dengan kenyang. Untuk minum, mereka menyediakan STMG, kopi panas, teh manis panas maupun air putih.

Jumlah penjaja sarapan pagi ini cukup banyak. Hal ini tidak terdapat di Kaliurang, Bandungan maupun di Kopeng. Di Tawangmangu juga ada penjual semacam ini tapi jumlahnya tidak sebanyak di Baturaden.


Tergabung dalam KSM.
Seperti biasa, sambil makan pagi saya ngobrol dengan mereka. Dari obrolan tersebut dapat diperoleh informasi bahwa penjaja sarapan pagi ini tergabung dalam sebuah KSM yang dinamakan kelompok PNK (Petani dan Nelayan Kecil) yang dibina oleh Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan nelayan Kecil (P4K) dari Departemen Pertanian bekerjasama dengan BRI. Kelompok PNK ini telah 5 tahun didampingi oleh P4K. Dalam 5 tahun tersebut mereka telah 5 kali memanfaatkan kredit dari BRI yang nilainya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Sampai saat ini mereka tidak pernah menunggak angsuran pokok maupun bunganya.

Omset penjualan mereka sekitar Rp.100.000,- sd Rp.150.000,- per hari, sedangkan keuntungan mereka per hari sekitar Rp.30.000,- sd Rp.50.000,-

Ketua KSM ini bernama Ibu Direm. Ayam goreng yang dijajakan oleh ibu-ibu berasal dari Ibu Direm ini. Sedangkan nasi, sayur, tempe goreng, tahu goreng, telor ceplok dibuat sendiri oleh masing-masing penjaja.

Bertemu Ibu Direm.
Setelah saya tahu alamat bu Direm, sekitar pukul 10 pagi saya menuju ke alamat tersebut. Rumah ibu Direm berukuran sekitar 6 X 8 meter dengan tembok yang dicat putih. Diteras muka terdapat banyak pot yang ditanami tanaman hias yang bermacam-macam. Lantai terasnya terbuat dari keramik putih. Demikian juga ruang tamunya. Dibelakang rumah induk ada bangunan dari gedeg (bamboo) yang sudah tua dan agak reyot sekitar berukuran 6 x 3 meter.

Setelah saya mengetok pintu, tidak berapa lama keluarlah seorang ibu yang berumur sekitar 50 an tahun tapi kelihatan masih cukup sehat dengan kulit agak hitam, tubuh agak gemuk dan memakai daster, membukakan pintu saya.
Saya bertanya : ¡§Betulkah ini rumahnya Ibu Direm?¡¨, dia menjawab :¡¨Betul, silahkan masuk¡¨. Setelah mengenalkan diri saya memberitahukan maksud kedatangan saya.

Dari perbincangan tersebut dapat diperoleh informasi sebagai berikut :

Persaingan antar pedagang mikro.
Ibu Direm adalah seorang janda dengan 1 orang anak yang masih berumur sekitar 18 tahun. ¡§Telat kawin mas¡¨ katanya. Dia menceriterakan sebagian besar penduduk asli Baturaden termasuk keluarga miskin termasuk ibu Direm. Pekerjaan pokok mereka adalah petani dengan lahan kurang dari 2.500 meter atau buruh tani yang tidak mempunyai lahan sendiri.
Untuk menambah penghasilan keluarga, sebagian dari mereka terutama ibu-ibu menjual sarapan pagi ke losmen-losmen, termasuk ibu Direm. Karena yang berjualan cukup banyak maka persaingan antar pedagang tidak dapat dihindari. Akhirnya persaingan ini menjurus ke hal-hal negatif yaitu menurunkan harga jual barang dagangannya dan menurunkan kualitas barang dagangannya. Hal ini menyebabkan barang dagangan mereka kurang diminati lagi karena kualitasnya menurun walupun harganya diturunkan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh cukup kecil. Para tamu penginapan lebih suka membeli di tempat lain, bahkan ada yang pilih membeli di Purwokerto untuk sarapan paginya. Disamping itu hal ini menyebabkan renggangnya hubungan antar individu yang notabene masih tetangga dan ada yang masih bertalian keluarga.

Membentuk KSM.
Sekitar 6 tahun lalu Proyek P4K datang dan mencoba berdialog dengan para pedagang. Dari pertemuan yang intensif antara petugas P4K dan para pedagang, akhirnya mereka sepakat untuk membentuk sebuah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Hal ini dilakukan karena ternyata dalam hal tertentu, secara individu mereka tidak dapat mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga mereka memerlukan sebuah kelompok bagi orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama untuk dapat memecahkan beberapa persoalan yang mereka hadapi.
KSM ini mengadakan pertemuan secara rutin setiap bulan. Didalam setiap pertemuan, dibahas masalah-masalah yang dihadapi oleh anggota dan keluarganya serta dibahas bersama bagaimana cara untuk mengatasi masalah tersebut, terutama masalah ekonomi. Salah satu masalah yang dibahas pada waktu itu adalah bagaimana agar harga jual barang dagangan mereka tidak menurun mendekati harga pokok.
Dari pembahasan-pembahasan yang mereka lakukan disepakati hal-hal sebagai berikut :
a. Diadakan pembagian wilayah pedagang,
b. Diadakan standardisasi harga jual barang dagangan,
c. Diadakan standardisasi kualitas barang dagangan,
d. Khusus untuk ayam goreng mereka sepakat untuk tidak membuat sendiri-sendiri tetapi mengambil dari Ibu Direm yang ayam gorengnya paling diminati oleh konsumen.

Pendapatan meningkat.
Kesepakatan tersebut dilaksanakan secara konsisten oleh para anggota. Sejak saat itu sedikit demi sedikit pelanggan kembali membeli barang dagangan mereka sehingga omset penjualan semakin meningkat walaupun harga jual barang dagangannya lebih mahal dibanding sebelum mereka tergabung dalam KSM, sehingga pendapatan keluargapun meningkat.
Ibu Direm konsisten untuk melayani kebutuhan ayam goreng bagi para anggotanya, sehingga waktu ibu Direm cukup luang untuk dapat mengembangkan usahanya yang lain karena dia tidak lagi ikut menjajakan barang dagangannya secara berkeliling.
Bagi para penjaja, ternyata waktunyapun sedikit longgar karena dia sudah tidak lagi membeli ayam, dan memprosesnya menjadi ayam goreng yang juga memerlukan waktu yang cukup lama.

Menangkap peluang pasar lain.
Kelebihan waktu luang ini dimanfaatkan oleh Ibu Direm dengan membuka usaha yang lain yaitu menanam tanaman hias di pot yang juga diminati oleh pengunjung Baturaden. Ternyata tanaman hias ini cukup laris sehingga pendapatan ibu Direm semakin meningkat.
Melihat Ibu Direm sukses dalam usaha tanaman hias, anggota-anggota yang lain mencoba untuk ikut terjun dalam usaha itu, yang hasilnya juga cukup lumayan untuk menambah penghasilan mereka.

Menabung.
Walaupun penghasilan ibu Direm meningkat, ibu Direm tetap hemat. Menurut dia, keinginan dia masih banyak yang belum terpenuhi. Agar keinginan dia tercapai, dia selalu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung. Dengan menghemat dan mengendalikan keinginan akhirnya dia bisa menabung. Saat ini tabungannya di BRI cukup banyak, lebih dari Rp.5 juta. Rumahnyapun terbuat dari batu bata dengan lantai keramik, ada TV berwarna ukuran 14 inci. ¡§Orang menganggap saya ini dulu orang mampu karena melihat rumah saya saat ini¡¨ begitu katanya. ¡§Dulu saya orang miskin. Lihat saja rumah saya yang dibelakang yang terbuat dari bamboo yang reot. Itulah kondisi saya dulu¡¨ lanjutnya sambil berlinang air mata.
¡§Pada waktu saya masih miskin, saya minta tolong kemana-mana tidak digubris. Kemudian datang P4K yang selalu mendampingi saya dan para orang miskin di Baturaden ini dan alhamdulillah dapat menolong kami dari kesulitan ekonomi melalui KSM¡¨
Dia meneruskan ceritanya dengan terisak-isak :¡¨Setelah saya agak mapan, orang-orang maupun Dinas/lembaga, maupun Bank yang lain yang dulu saya mintai tolong dan tidak mau mendengar, pada datang untuk menolong kami. Kami sudah terlanjur kecewa kepada mereka, maka saya tolak tawaran mereka walupun mereka menjanjikan hal-hal yang lebih baik¡¨.

Modal usahanya selalu dari modal pinjaman.
Walaupun Ibu Direm telah mempunyai tabungan di BRI lebih dari Rp.5 juta, untuk modal usahanya dia selalu meminjam kepada BRI dengan suku bunga pasar. Tabungan tersebut akan digunakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan Ibu Direm dan keluarganya dimasa depan. ¡§Dengan modal pinjaman saya akan lebih termotivasi untuk kerja keras karena modal tersebut ada bunganya¡¨ begitu katanya. Menurut Bu Direm dia pernah memakai modal sendiri dan juga modal pinjaman dengan bunga lunak tetapi justru dia bangkrut. Menurut dia hal ini disebabkan dengan modal sendiri dan bunga lunak ini menyebabkan dia kurang bersungguh-sungguh dalam menjalankan usahanya. Disamping itu ikatan batinnya dengan BRI telah begitu erat, sehingga dia tidak tega untuk memutuskan hubungan yang erat dan saling menguntungkan ini. ¡§BRI kan telah memuaskan kebutuhan dan keinginan saya, mana mungkin saya tega untuk selingkuh dengan pemberi kredit yang lain¡¨ begitu katanya.

Mendapat penghargaan.
Dari hasil penilaian yang dilakukan oleh P4K, Ibu Direm termasuk salah satu orang yang dianggap berhasil dalam mengentaskan dirinya dari kemiskinan dan mempunyai andil yang besar dalam mengentaskan kemiskinan anggota kelompoknya. Hal ini didengar oleh radio NHK Jepang. Melalui P4K Ibu Direm diundang ke Jepang untuk memberikan presentasi keberhasilannya dan keberhasilan KSM nya dalam acara ¡§Program pengentasan kemiskinan di Asia Pasifik¡¨ yang diselenggarakan di Jepang. Sebelum berangkat ke Jepang, Ibu Direm dan KSM diwawancarai televisi Jepang yang shootingnya dilakukan ditempat ibu Direm. Ibu Direm diundang di Jepang selama sekitar 1 bulan. Selama di Jepang Ibu Direm sering berfoto dengan memakai kimono dan dikirim ke P4K. sejak saat itulah Ibu Direm dijuluki sebagai ¡§Geisha dari Baturaden¡¨. Disamping diundang di Jepang, Ibu Direm pernah juga diundang dalam acara yang sama di Korea Selatan.